Skip to main content

Kaum penyembah teks yang konservatif dan kaum anti teks yang mengaku inklusif kadang berkolaborasi dalam satu pandangan. Salah satunya adalah menganggap penghormatan kepada Nabi SAW sebagai kultus. Para penyembah teks mengharamkan atau membid’ahkan upacara Maulid karena menganggapnya kultus yang membuahkan syirik dan karena tak menemukan teks agama yang menganjurkannya. Sebagian kaum modernis mencemooh kecaman kepada penghina Nabi SAW karena menganggapnya sebagai kultus. Anehnya, mereka tak menuduh keyakinan tentang anak Tuhan atau dewa-dewa sebagai kultus.

Dalam kamus bahasa Indonesia salah satu arti kultus adalah penghormatan secara berlebih-lebihan kepada orang, paham, atau benda.

Banyak orang tanpa dasar parameter logis tentang pengertian “berlebihan” menganggap sikap dan perlakuan tertentu kepada seseorang sebagai kultus. Kata kultus sering digunakan secara “kultus” pula alias tak proporsional. Padahal kultus adalah pengistimewaan yang tak istimewa atau perlakuan berlebihan kepada seseorang.

Tolok ukur berlebihan dan proporsional haruslah logis, impersonal dan permanen, bukan atas dasar interest personal, komunal, sektarian dan primordial.

Penghormatan besar atau perlakuan istimewa kepada seseorang tak selalu kultus. Kadang justru perlakuan proporsional kepada seseorang terlihat (di mata orang lain yang tak menemukan alasan dalam benaknya untuk memperlakukannya seperti itu) sebagai berlebihan atau kultus.

Mestinya sebuah sikap dan perlakuan khusus atau penghormatan disebut berlebihan karena melebihi atau melampaui kapasitas dan hak penghormatan yang sesuai kapasitas, kiprah dan tanggungjawabnya.

Yang perlu dihindari adalah “memukul rata” dengan anggapan bahwa semua penghormatan dan kepatuhan atau keterikatan kepada seseorang atau keyakinan atau apapun sebagai kultus.

Sumber anggapan serampangan tentang kultus ini adalah krisis nalar dalam memahami paradigma kenabian sebagai lembaga transenden mediasi antara Tuhan dan hamba.

Ternyata dalam al-Qur’an terdapat sejumlah “ayat diskriminasi”. Ini bukan modus liberalisasi teks suci. Artinya, Allah Swt secara terangan-terangan mengutamakan sekelompok manusia dari yang lain. Tentu bukan didasarkan pada orang atau alasan-alasan determinan, melainkan berdasarkan standar-standar rasional.

Di sisi lain, memperlakukan semua orang secara sama, bukanlah keadilan, malah merupakan kezaliman, karena itu berarti tidak meletakkan sesuatu pada tempatnya.

Samakah orang yang berjuang, mengeluarkan pikiran, tenaga, waktu dan harta demi kebaikan banyak orang dengan orang yang hanya menjadi sekedar “ warga negara yang baik”. Tentu tidak. Allah menegaskan, “Tidaklah sama antara Mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar” (QS. An-Nisa’ 95)

Para abdi masyarakat, seperti polisi yang rela diguyur hujan atau disiram terik matahari demi mengatur lalu lintas atau bahkan petugas kebersihan yang rela menyapu jalan dan mengangkut sampah-sampah adalah “mujahidin” yang layak diperlakukan beda.

Selain itu, yang berhak mendapatkan perlakuan diskriminatif adalah orang yang fasik, orang yang, karena meragukan akhirat, melakukan korupsi dan memanfaatkan kepercayaan publik sebagai cara untuk menjadi kaya raya. Orang demikian, selain tidak berhak dihormati mesti dipermalukan. “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? Mereka tidak sama.” (Q. al-Sajdah 18). Iman adalah buah dari pengetahuan yang benar akan Sebab Pengada alam semesta dan kepastian hari akhir. Iman yang disandang seseorang adalah alasan rasional untuk dipuja dan diidolakan, bahkan dikultuskan (meski istilah “kultus” kian kabur).

Pengetahuan benar, yang merupakan sumber iman atau keyakinan yang benar, juga merupakan sebuah prestasi yang layak diapresiasi dan tidak boleh sama sekali dianggap sama dengan yang tidak berpretasi. “Apakah (tidaklah) sama orang yang mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui.” (QS. Az-Zumar).

Firman-firman Allah diatas dapat dianggap sebagai afirmasi tentang perlunya menjaga keseimbangan antara kultus dan diskriminasi, antara pemujaan dan penistaan dengan tolok ukur kerja keras (jihad), iman dan pengetahuan. Pengistimewaan menjadi sah dan perlu, demikian pula diskriminasi . Islam yang rasional meletakkan segala sesuatu secara proporsional.

Menurut Islam, kelas tidak mutlak dihapus. Namun ia menghapus kelas-kelas sosial berdasarkan kekayaan, raga, rupa dan simbol-simbol semu lainnya. Perbedaan pelakuan dan tingkat penghormatan harus tetap ada agar yang tidak berperstasi dan berbuat zalim tidak merasa benar.

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Islam mengabadikan hak dan prestasi orang-orang yang memang layak untuk dipanggil “Yang Mulia”. (QS al-Hujurat :13).

Nabi termulia dan wali suci adalah orang-orang paling bertakwa yang wajib diperlakukan beda karena ketakwaan, pengetahuan hakiki, perjuangan dan semua nilai kebaikan dan kebenaran.

Bila makna kultus ditetapkan sebagai sikap negatif, maka kultus adalah mengistimewakan orang yang. tak istimewa. Bila makna kultus dianggap netral, maka mengultuskan orang istimewa adalah kultus positif.