Skip to main content

Laa Ilaha Ilallah, Sambil Telanjang Dada

By October 21, 2008One Comment


Ingat Kantata Takwa dengan Iwan Fals, Setiawan Djody, dan WS Rendra yang menggebrak blantika musik Indonesia pada 90 an? Ternyata ada film yang memuat semua konser KT yang tebengkalai selama 18 tahun. Penasaran? Baca artikel berikut ini:

Di JAFF 2008 ini, sekali lagi saya menonton Kantata Takwa pada malam pembukaan. Tadinya saya berniat melewatkan saja pemutaran Kantata di festival ini karena saya sudah pernah menontonnya dalam pertunjukan khusus di Ruang Sjuman, Institut Kesenian Jakarta bulan April lalu, dan saya sudah menuliskannya untuk Rumah Film. Namun karena belum ada kegiatan lain yang bisa diikuti di festival ini, saya pun duduk di gedung pertunjukan di Taman Budaya Yogyakarta menonton film itu sekali lagi.

Sebagaimana biasa, menonton film untuk keduakalinya selalu memunculkan hal baru. Saya mengalaminya. Entah kenapa saya bisa luput melihat hal ini ketika menonton Kantata untuk pertamakalinya. Mungkin semata-mata luput, atau mungkin karena suasana ketika saya menonton pada April 2008 berbeda dengan Agustus 2008.

Hal baru pertama yang muncul soal teknis. Sistem suara di Taman Budaya Yogyakarta jauh lebih baik ketimbang di ruang Sjuman. Maka musik dan suasana konser Kantata jauh lebih menghantam telinga dan menimbulkan efek emosi lebih besar. Dengan begitu, posisi film ini sebagai film konser terasa sekali. Dengan lagu-lagu yang saya kenal baik, apresiasi saya terhadap film ini jadi meningkat ketimbang pertama kali saya menontonnya.

Namun kesan baru kedua yang muncul agak mendasar. Iwan Fals, Sawung Jabo dan kawan-kawan bernyanyi di panggung dengan telanjang dada. Lirik yang mereka lantunkan antara lain “Laa Ilaha Illallah” – penggalan kalimat syahadat. Clara Sinta juga muncul berjilbab di sana menjadi semacam saksi terhadap berbagai peristiwa yang dialami oleh para seniman itu. Di ujung film, Clara Sinta yang tadinya sendirian kemudian diikuti oleh banyak perempuan berjilbab lainnya. Jelas sekali bahwa pembuat film ini ingin menyatakan bahwa di masa depan Islam akan menjadi pemenang di Indonesia. Film ini memang dibuat pada era ketika kata “Takwa” sedang diusahakan masuk ke dalam berbagai dokumen resmi negara semisal RAPBN dan sebagainya.

Memahami konteks Kantata memang berguna untuk memberi makna terhadap pesan-pesan yang ada di dalam film itu. Saya menekankan pada konteks itu ketika membahas Kantata untuk pertamakalinya dan tak bisa lepas dari bayangan saya tentang persoalan dan ekspresi dekade 1990-an. Namun melihat film ini sekali lagi berhasil membuat konteks tersebut tanggal dan saya bisa lebih bebas. Maka muatan Islam dalam film ini jadi maju ke muka dan bicara dalam sebuah konteks yang sama sekali berbeda. Melantunkan Laa Ilaha Ilallah sambil bertelanjang dada (bahkan menurut Gotot Prakosa, mereka melantunkan itu sesudah nge-gele) adalah sesuatu yang sangat ideosinkretik pada saat ini.

Para lelaki bertelanjang dada dan melantunkan syahadat ini tergolong istimewa. Kita masih ingat gambar Vino Bastian dan Herjunot Ali bertelanjang dada di poster Realita, Cinta dan Rock ‘n’ Roll yang diturunkan oleh sekelompok pemrotes dari kelompok Islam yang sedang memprotes film Buruan Cium Gue. Lelaki telanjang dada (sekalipun tak termasuk mengumbar aurat) dianggap sebagai tidak Islami. Jika dibandingkan dengan ‘ketertutupan aurat’ dan pakaian ‘Islami’ yang menjadi agenda penting dalam ungkapan Islam dalam budaya pop sekarang ini, maka apa yang disajikan Kantata Takwa terasa seperti menyajikan bentuk ekspresi ke-Islaman yang berbeda sama sekali.

Sinema dan budaya pop saat ini sedang menjadi sebuah ajang pergulatan baru bagi umat Islam di Indonesia. Sesudah Ayat-Ayat Cinta menjadi film Indonesia yang paling banyak ditonton, terjadi perumusan ulang yang serius terhadap hubungan antara Islam dan film. Kecenderungan meningkatnya secara drastis besaran pasar budaya pop Islam (nasyid, novel ‘Islami’ dan sebagainya) akhirnya seperti ditasbihkan dengan keberhasilan AAC menjadi film bioskop terlaris sepanjang masa di Indonesia.

Saya sempat mengomentari kesuksesan AAC adalah karena keberhasilannya mencabut sekat antara Islam dan romansa. AAC seperti memberi sebuah jalan bagi romansa yang melodramatis yang biasanya menjadi wacana yang ada pada film-film kelas menengah dan kaum borjuasi. AAC berhasil memindahkan romansa yang biasanya ada pada film-film remaja dan sinetron TV ke dalam bentuk layar lebar, sambil tetap mempertahankan ungkapan ke-Islamannya.

Namun AAC tetap menuai banyak protes, terutama dari kalangan Muslim yang lebih skriptural. Protes pertama adalah ungkapan-ungkapannya yang dianggap ‘kurang mewakili semangat Islam’, terutama dalam karakterisasi tokoh utama film itu. Tokoh utama film itu, Fahri, tampak bimbang dan tak punya semangat ideologis ketika mengambil keputusan. Dalam novel, Fahri adalah seorang tokoh sempurna – cenderung idyllic – yang mengambil keputusan berdasarkan kesadaran ideologisnya. Namun dalam film, Fahri seperti orang tak berdaya dan tersudut oleh keadaan.

Protes juga terjadi dalam proses pembuatan film yang akhirnya mempengaruhi output sinematik dari film ini. AAC merupakan sebuah film ketika peristiwa di luar pertimbangan sinematis turut mempengaruhi proses sinematisnya. Misalnya pada soal pertimbangan pemilihan pemain yang harus beragama Islam, nilai muatan dakwah di dalamnya atau hal-hal semacam ini. Film ini, seperti diakui Hanung Bramantyo dalam talk show dengan saya di salah satu TV swasta, film ini adalah kompromi 4 pihak: sutradara, penulis skenario, penulis novel dan produser.

Protes dan kompromi dalam proses ini bisa dibilang merupakan sebuah upaya untuk memunculkan apa yang dianggap sebagai nilai-nilai Islam dalam bentuk sinema, baik dalam proses produksi maupun dalam cara ungkap sinematisnya. Ukuran-ukuran dogmatis tentang Islam berusaha diterapkan ke dalam sinema, jika perlu dalam bentuk yang sama dogmatisnya dengan sebuah khotbah Jumat atau pengajian.

Sebagai ilustrasi saja, misalnya, adalah sebuah surat pembaca ke email redaksi RumahFilm yang sebenarnya ditujukan kepada Habiburrahman El Shirazy, penulis buku AAC dan Ketika Cinta Bertasbih yang sedang dalam proses difilmkan.

Ada 2 poin utama dalam surat itu yang menarik dalam konteks melihat ungkapan Islam dalam sinema. Pertama adalah permintaan sang penulis surat agar pemilihan pemain Ketika Cinta Bertasbih. Jika ada adegan lelaki-perempuan dalam film itu sebaiknya dimainkan oleh mereka yang memang muhrim. Permintaan kedua adalah agar dalam proses menonton film itu, sebaiknya lelaki dan perempuan dipisah atau lampu di dalam gedung bioskop dibuat terang saja supaya bisa menghindar dari keadaan dimana lelaki dan perempuan bercampur (bahkan berpacaran) di ruang gelap.

Kedua logika ini sama sekali berbeda dengan logika produksi dan eksebisi film yang sudah dikenal selama ini. Terlepas dari apakah logika ini bisa diterima atau tidak, yang jelas usaha untuk membuat sinema menjadi sedekat mungkin dengan dogma Islam sedang membesar. Maka membayangkan kelompok Kantata Takwa yang menyanyikan Laa Ilaha Ilallah bertelanjang dada (bahkan kabarnya sesudah mengisap ganja) adalah sebuah ungkapan keIslaman yang berjalan ke ujung lain dari tuntutan logika itu. Apakah ini berarti Kantata Takwa tak bisa diakui sebagai film Islam atau film Islami?

Akhirnya perdebatan memang sampai kepada soal apa yang Islam (atau ajektifnya, Islami) dan tidak dalam sinema. Sampai di sini, ukuran-ukuran non-sinematis sudah pasti nyaris diterapkan. Perdebatan mengenai apa yang “Islam” atau “Islami” dan yang tidak, dan rasanya itu bukan urusan sinema. Sinema bagaimanapun sebuah usaha representasi dari para pembuatnya. Maka pada Kantata dan AAC, Islam direpresentasikan oleh dua kelompok pembuat film yang berbeda dan menghasilkan gambaran berbeda tentang Islam.

AAC adalah sebuah gambaran tentang melodrama dalam Islam. Tema melodrama yang memancing tangis dari kesulitan posisi perempuan adalah sebuah tema milik kelas menengah. Tokoh utama dalam AAC adalah mahasiswa pasca sarjana, seorang kelas menengah. Tokoh-tokoh lainnya berlatar belakang kelas menengah Mesir yang selesai dengan persoalan-persoalan konsumsi primer mereka. AAC adalah sebuah eksemplar dari representasi kelas menengah Islam dalam layar perak.

Sementara itu, Kantata membawa sebuah irisan tema Islam dengan pemberontakan terhadap kekuasaan. Film Kantata memperlihatkan suasana penonton konser yang berdesakan masuk, menghancurkan segala rintangan yang ada di depan mereka. Dengan lantunan “Bento!” dan “Bongkar!”, Kantata seperti sedang menggambarkan suasana hati massa yang marah dengan situasi tekanan politik Orde Baru saat itu dan mencari jalan pelampiasan. Kantata adalah sebuah katarsis dimana lagu jalanan Iwan Fals bertemu dengan aspirasi Islam dan hasilnya adalah anak-anak singkong bernyanyi Bento dan massa yang mendobrak pagar pembatas stadion Utama Senayan untuk menyalurkan histeria mereka.

Kantata Takwa adalah sebuah ungkapan Islam untuk massa. Bisa jadi karena faktor Iwan Fals yang mempunya daya tarik bagi massa, tapi juga bisa jadi karena puisi-puisi Rendra yang meminimalkan metafora dan bicara langsung tentang persoalan-persoalan kekuasaan saat itu. Paling tidak, sajak-sajak Rendra bicara dalam bahasa dan ungkapan yang relatif mudah dimengerti dan bisa dengan mudah diubah menjadi slogan.

Saat ini, diskusi mengenai muatan Islam dalam sinema terarah pada bentuk-bentuk yang lebih tekstual, skriptural. Persoalan seperti hijab, muhrim atau tidak dan ungkapan-ungkapan seperti itu lebih mendapat perhatian bagi film-film yang ditujukan untuk kelas menengah dengan persoalan-persoalan untuk orang-orang yang sudah selesai dengan konsumsi primer. Kantata Takwa bagaimanapun bicara kepada massa dengan ungkapan-ungkapan Islam.

Sekalipun Kantata Takwa bicara dalam konteks 1990-an, tetapi ia – sebagaimana film Rhoma Irama – bicara kepada massa Islam. Hal yang sangat menarik dari Kantata ketimbang film-film Rhoma Irama adalah agenda pembicaraannya berupa perlawanan terhadap kekuasaan. Hal inilah yang tampaknya sedang hilang dalam usaha untuk memindahkan wacana Islam ke dalam bentuk-bentuk sinema. Bahwa ungkapan nilai Islam dalam sinema tidak hanya agenda yang ada pada film Ayat-ayat Cinta saja. Apakah Islam sedang tak punya artikulasi bagi massa – atau setidaknya kelas pekerja – dalam bentuk-bentuk budaya popular atau sinema? ( <!– /* Font Definitions */ @font-face {font-family:Georgia; panose-1:2 4 5 2 5 4 5 2 3 3; mso-font-charset:0; mso-generic-font-family:roman; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:647 0 0 0 159 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:””; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:”Times New Roman”; mso-fareast-font-family:”Times New Roman”;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 90.0pt 72.0pt 90.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} –>
/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin:0cm;
mso-para-margin-bottom:.0001pt;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:10.0pt;
font-family:”Times New Roman”;
mso-ansi-language:#0400;
mso-fareast-language:#0400;
mso-bidi-language:#0400;}
oleh Eric Sasono Redaktur Rumahfilm.org, Jakarta, 09/03/2008 13:38:25)