Baru-baru ini kota Banyumas dihebohkan oleh berdirinya Arus Pelangi Banyumas, sebuah organisasi yang menjadi wadah khusus kaum gay, lesbian, dan biseksual, serta transjender-transeksual (LGBT). Acara deklarasi Arus Pelangi cabang Banyumas dengan ketua Shandy ini ini dikukuhkan oleh Rido Triawan, Direktur Arus Pelangi Pusat.
Warga yang berasal dari sejumlah organisasi Islam serta para tokoh Muhamaddiyah dan NU di kota tersebut menolak keberadaannya karena dianggap melanggar norma agama dan pranata sosial. Sejumlah aktivis organisasi kepemudaan juga sempat mendesak pemerintah tidak mengeluarkan izin terhadap Arus Pelangi.
Tentu saja, keinginan untuk mendapatkan hak melakukan kawin sejenis ditentang oleh seluruh pemuka agama. KH Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI, menganggapnya lebih buruk dari zina.
Mungkin karena menyadari posisinya yang sulit diterima oleh ormas Islam para pemuka agama, Arus Pelangi, demi memperjuangkan hak anggotanya melakukan perkawinan, mendesak agar dilakukan revisi terhadap UU Anti Diskrimansi. Menurutnya, perkawinan adalah bagian dari administrasi kenegaraan, bukan agama. Namun sewjumlah para pakar Hukum positif pun menolaknya, karena perkawinan tidak bisa dipisahkan sepenuhnya dari persoalan agama.
Terlepas dari kontroversi itu, benarkah tidak ada solusi hukum selain fatwa haram? Tidakkah perlu dilakukan klasifikasi yang komprehensif terhadap persoalan ini, misalnya antara yang menjadi waria karena faktor internal (bawaan, genetik, hormonal) dan waria karena faktor eksternal (akibat gaya hidup atau trauma pelecehan seskual dan lainnya) agar hukum agama tidak terkesan diskrimantif dan tidak akomodatif? Samakah gay, yang memang ingin berhubungan badan dengan sesama pria, dengan waria yang ingin diperlakukan sebagai wanita oleh pria? Samakah kecenderungan dengan hasrat seksual? Bagaimanakah kedudukan hukum agama terhadap ganti kelamin?
Mungkin sudah tiba saatnya, digagas sebuah fikih rasional dan kontekstual yang tetap mengedepankan ayat-ayat muhkamat dan ijtihad-ijtihad yang digali dari sumber-sumber utama Islam. Yang juga mungkin perlu dilakukan oleh para ulama, terutama yang berada dalam lembaga keulamaan, memperluas area eksplorasi terhadap sumber-sumber alternatif fikih, dengan misalnya, mempertimbangkan pendapat ulama-ulama dari kalangan non Sunni, seperti Syiah dan Zaidiyah, bahkan dari kalangan modernis. Perluasan area eksplorasi fikih ini tentu tidak serta merta mengubah pandangan fikih tradisional (salaf), apalagi yang bersifat prinsipal.
Pengayaan wawasan fikih bisa dilakukan melalui mekanisme dialog yang komprhensif yang dihadiri oleh seluruh pakar fikih semua mazhab.
Bagaimanapun, ide demikian tidak akan terealisir dan harapan akan terbitnya sebuah fikih yang adil akan kandas apabila fanatisme sektarian dan kecurigaan terhadap mazhab lain masih belum lenyap. Karenanya, langkah pertama yang harus diambil adalah membangun rasa saling percaya antar ulama mazhab Islam.
Secara teologis, pengubahan kelamin, tidak dianggap sebagai tindakan mengubah ciptaan Tuhan, karena apapun yang terjadi dalam proses kemakhlukan di dunia ini, berada dalam koridor sistem penciptaan-Nya. Karena itulah, mengubah bentuk rambut, dengan memotongnya, tidak serta merta dianggap sebagai tindakan mengubah ciptaan Allah.
Secara yurisprodensial, mengubah kelamin, bisa dianalisis sebagai sebuah tindakan yang tidak haram selama mengikuti kaidah-kaidah hukum syariat, seperti menempuh cara yang haram, menggunakan media dan alat yang haram, bertujuan untuk melakukan sesuatu yang haram, dan sejumlah kondisi dan persyaratan normatif yang telah disepakati. Apakah mengubah kelamin, tetap dianggap haram fair bila dilakukan seraya memperhatikan poin-poin penting diatas?
Kita semua yakin bahwa agama Tuhan yang lestari dan abadi ini tentu tidak hanya melarang seseorang melakukan hubungan seksual sejenis bagi orang yang memang merasa memiliki jiwa ‘perempuan’ yang terbungkus dalam batang raga ‘pria’. Bagaimana nasib sekelompok manusia yang tidak mendapat rezeki keserasian jiwa dan raga? Apakah orang-orang yang mengalami ‘musibah genetik’ ini harus bersabar untuk tidak memenuhi hasrat biologis seumur hidup, karena anggapan umum bahwa agama hanya punya satu vonis hukum yang final, haram?
Memang perkawinan antar sesama jenis dilarang oleh semua agama. Namun mengubah kelamin demi menghindari hubungan sesama jenis tidak semestinya diharamkan pula. Betapa banyak waria, yang memang secara genetik dan psikologis perempuan, ingin diperlakukan sebagai perempuan, bukan sebagai pria? Bila hubungan sesama jenis diharamkan dan ganti kelamin juga diharamkan, maka apakah agama tidak lagi berlaku bagi kelompok ini?
Mungkin dalam rangka eksplorasi hukum yang akomodatif itu, perlu dikaji tipologi waria, gay dan lesbian secara seksama. Misalnya waria, pria fisikal yang secara genetik dan psikologis perempuan juga wanita fisikal yang secara genetik dan psikologis pria, dibedakkan secara hukum dengan pria yang menjadi waria karena gaya hidup atau trauma, juga tidak sama secara hukum dengan gay, yaitu pria yang memang ingin berhubungan dengan pria, serta tidak diperlakukan sama dengan dengan lesbian murni yang memang hanya ingin berhubungan dengan wanita.
Ini perlu dilakukan oleh para para fikih demi mempertegas hukum Islam yang hanya hanya menerima pola hubungan heteroseksual. Artinya, dengan tetapkan mempertahankan keharaman kontak kelmin sejenis, mempertimbangkan kehalalan ganti kelamin dengan memperhatikan aspek genetik, hormonal dan psikologis dalam sebuah bingkai fikih, misalnya, kaidah hukum darurat.
Tentu, ini hanya sebuah hipotesa yang belum bisa dianggap sebagai solusi hukum apalagi fatwa. Yang jelas, hukum Islam pasti mampu mengatasi problema serumit apapun, karena ia agama yang tegak lurus (Dzalika-ddinul-qayyim). Sumber: majalah dwimingguan ADIL pb