Skip to main content

Ditolak atau tidak di lapangan, Barat bisa dianggap berhasil menjadikan ajang Piala Dunia Qatar sebagai momen mengamplifikasi isu ini.

Sejak semula akronimnya sendiri bermasalah. Tidak semua kelompok yang disebutkan setuju dengan akronim ini. Beberapa orang dalam kelompok yang disebutkan merasa tidak berhubungan dengan kelompok lain dan tidak menyukai penyeragaman ini. Beberapa orang menyatakan bahwa pergerakan transgender dan transeksual itu tidak sama dengan pergerakan ini. Selain itu, ada juga yang tidak menggunakan istilah ini karena merasa bahwa: akronim ini terlalu politically correct.

Fenomema telah menjadi pandemi budaya dan etika di Barat dan luar Barat, termasuk di negeri kita yang kadang diikuti oleh sebagian orang, terutama generasi muda, bukan karena mengalami disorientasi tapi dipandang sebagai lifestyle modern juga resistensi terhadap rezim doktrin yang otoriter.

Faktanya pula, Barat yang telah menjajah dunia dengan aneka platform media sosial telah sukses menghadirkan semua pandangannya secara paksa namun tak terasa. Semua tulisan dan konten yang menyebut secara tegas akronim dan aksaranya di platform, maka sistem algoritma akan mendeteksi dan menimpakan sanksi atasnya.

Masalahnya, perilaku kontra sistem alam dan etika ini hanya dilawan dengan narasi agama. Padahal isu yang dikampanyekan oleh dunia Barat dalam segala level dan metode ini sejak semula tidak mempertimbangkan agama apapun yang secara tegas menolaknya. Misi utama propaganda para globalis adalah menghapus moral ketuhanan. Itu sedang berproses dalam kecepatan luar biasa.

Masalahnya pula, sebagian besar narasi agama yang digunakan untuk melawannya hanya berisi ancaman dan kecaman tanpa penjelasan rasional dan pemberian solusi relevan terhadap sejemulah kasus disorientasi seksual. Para agamawan mainstream ramai-ramai melakukan generalisasi stigma dosa atas ragam fenomena homoseksualitas dan biseksualitas juga isu pergantian kelamin tanpa pilih dan pilah.

Pandangan rasional dan logis dalam agama yang mestinya menjadi paradigma alternatif diacuhkan bahkan disesatkan dan dikafirkan. Justru karena sibuk menggempur umat seagama yang berbeda pandangan, dan ribut saling serang soal capres yang pemilihannya masih lama, fenomena itu kini sudah berada dalam lingkungan kita masing-masing.

LGBT bukan soal kebebasan dan hak-hak asasi tapi soal kewarasan. Ia sejak semula tidak logis, karena tetap saja pasangan sejenis melakukan kontak seksual antara “pemberi” (+) dan “penerima” (-) dengan atau tanpa alat bantu.

Entah berapa artikel sudah saya tulis seputar tema ini yang memuat pandangan alternatif yang relevan dan adil. Tragis plus ironis!