LOGIKA DULU, BARU AGAMA
Sebagai ajaran wahyu yang sempurna, agama saat diajarkan, mestinya langsung bisa diterapkan. Nyatanya, justru umat bersaing menyusun keyakinan sendiri-sendiri hingga lahirlah ragam aliran dan polemik pun berlanjut. Kalau pun ada konsep rasional, utuh dan sistematis dari sumber agama di tengah kecamuk itu, maka itu pun diabaikan bahkan dibenci dan akhirnya justru terlihat sebagai salah satu dari aliran-aliran yang berbeda-beda keyakinan.
Karena itu, orang yang ingin memilih agama takkan menemukan satu keyakinan utuh yang mengintegrasikan semua penganutnya dalam sebuah keyakinan yang bisa membentuk pandangan, prilaku dan sikap yang general.
Alih-alih bersatu pandangan dan bersama-sama menerapkannya, malah ribut memperebutkan hak representasi dengan aksi-,aksi yang mengalirkan darah dan menguras airmata sepanjang sejarahnya.
Apa yang setiap saat bisa dilihat dan didengar dari para penganut agama nyaris tak memantapkan keputusan untuk mempertahankannya.
Anehnya, sama-sama tak punya dasar beragama, tapi saling mengklaim bahkan berusaha mencabut hak kelompok lain untuk menyusun pemahamannya tentang agama yang dianutnya.
Sebagian dari penganut agama tidak pernah meninjau ulang proses keberagamaannya sesuai logika, malah memaksa pihak lain untuk menganggap pandangan doktrinalnya sebagai representasi tunggal agama itu.
Karena sibuk berebut klaim representasi agama, tak sempat mengamalkannya.Karena sibuk menyuruh orang lain, tak sempat mengamalkannya.
Bila agama hanya diwakili oleh para penganjur intoleransi, tak beragama adalah pilihan logis.
Kalau pun agama perlu dipertahankan, itu karena harapan, bukan karena fakta intoleransi yang dianggap sebagai cermin keberagamaan.