LOGIKA PUBLIK

LOGIKA PUBLIK
Photo by Unsplash.com

Kecenderungan umum banyak orang adalah mencari pandangan yang sama dengan pandangannya sebagai cara membebaskan dirinya dari beban mencari dan memilih yang benar di antara banyak pandangan.

Sebagian besar orang beragama dan memegang prinsip dalam hidup karena info pertama yang dijejalkan dan terlanjur memasuki benaknya saat belum mandiri untuk menentukan pilihan pandangan, bukan karena komparasi atau hasil pencarian.

Demi mempertahankan pandangan yang terlanjur dianutnya, banyak orang memanjakan diri dengan menyimak hal-hal yang sudah diketahuinya dan menolak apapun yang tak diketahuinya karena khawatir menggugurkan apa yang telah diyakininya.

Karena tak merasa memilih pandangannya sendiri, banyak orang memproteksi pandangan-pandangan yang terlanjur dipegangnya dengan menolak pandangan apapun yang berbeda dengannya, bahkan sebagian menciptakan sejumlah dusta demi menjustifikasi penolakan.

Tak sedikit orang mempertahankan pandangan-pandangannya tentang agama dan lainnya bukan karena validitasnya tapi karena rasa nyaman yang membuatnya enggan melakukan klarifikasi dan komparasi. Karena itu, banyak pernyataan irrasional atau info sampah diterima bahkan menjadi viral.

Inilah fanatisme yang melahirkan intoleransi pasif berup penolakan dan aktif berupa agresi dalam ragam levelnya mulai dari diskriminasi hingga persekusi dan teror.

"Sesatkan dia, maka kamu terhindar dari interaksi yang bisa menggoyahkan pandanganmu" menjadi semacam wahyu buatan yang menguasai bawah sadar banyak orang.

"Kafirkan dia, kamu bebas menimpakan segala hal yang buruk atasnya" seolah menjadi premis apriori nir-kenapa dalam benak banyak orang.

Inilah hoax berabad yang terus diupdate demi memuluskan kehendak dominasi segelintir orang yang menjadikan sektarianisme dan intoleransi berkedok "membela agama" sebagai modal memupuk dukungan.

Read more