Tim Pembela Kebebasan Beragama, KontraS, dan LBH Jakarta datangi Komnas HAM melaporkan korban minoritas Syiah yang mendapat kekerasan di Bangil dan sekitarnya oleh kelompok tertentu pada 27 November lalu, Senin (3/12). Pasalnya, hingga kini laporan yang diajukan ke pihak kepolisian belum mendapat respon.
Indria Fernida, perwakilan dari KontraS menegaskan penyesalan terhadap aksi kekerasan dan pengerusakan mesjid Syiah yang dilakukan 200 massa di Bangli, Jawa Timur, 27 November 2007, sekitar pukul 00.15. Aksi ini dilakukan saat jemaah sedang mendengarkan ceramah Majelis Ta’lim Raudhatus Salaf yang dikelola Umar bin Abdullah. Tak hanya itu, massa merusak Masjid Jarhum, rumah pengurus mesjid Ahmad bin Abdullah Alaydrus, rumah ustad Ali Umar Al Zaenal Abidin.
Menurutnya, penyerangan dan aksi kekerasan ini mengakibatkan keluarga para ustad ketakutan, termasuk anak-anak mereka. Sedangkan, berdasarkan catatan Tim Pembela Kebebasan Beragama, aksi serupa juga dialami oleh penganut Syiah di Sampang, Klakah Lumajang, Jember, Probolinggo, dan Bondowoso selama 2006-2007 lalu.
Lebih jauh, Indria menjelaskan tindak kekerasan ini sudah dilaporkan ke kepolisian setempat. Meski telah ada sejumlah pemeriksaan oleh pihak kepolisian lokal tersebut, Indira menyatakan hingga kini belum ada pemeriksaan terhadap para pihak yang diduga sebagai pelaku.
“Kami menduga aparat kepolisian tampak sengaja membiarkan. Karena itu, kami meminta Kapolri untuk memberikan perhatian serius. Harus ada sanksi tegas terhadap para pelaku sehingga dapat menjamin hak warga negara untuk menjalankan ibadah,” tegasnya.
Sementara itu, Komisoner Komnas HAM Johny Nelson Simanjutak menegaskan akan menyampaikan keluhan ini kepada Kapolri. “Ini akan kami sampaikan dalam MoU Tentang Pengusutan Kasus Pertanahan antara BPPN, Polri, dan Komnas HAM besok (selasa, 4/12),” tegasnya.
Johny mengakui hingga kini kesadaran para aparat kepolisian tentang perspektif HAM tentang kebebasan beragama masih rendah. Menurutnya, polisi belum bisa menentukan siapa pihak yang menjadi korban dan harus dilindungi. “Mereka masih pakai kacamata formil masyarakat mayoritas,” ungkapnya.
Kondisi ini, lanjutnya, terbukti dengan tindakan pengamanan yang dilakukan polisi terhadap anggota jemaah yang dikenai fatwa aliran sesat oleh MUI. Lebih jauh, ia menjelaskan situasi ini semakin menunjukkan masyarakat indonesia tidak pernah didorong bersikap dewasa beragama untuk saling menghargai penganut dari pelbagai macam aliran yang ada. “Kondisi ini jelas nanti akan menjadi ancaman perpecahan dan penindasan kepada kaum minoritas,” pungkasnya. (Penulis: Wisnu/ Koran Media Indonesia, 4/12/2007)