Ada apa dengan sebutan ‘Salafi’? Sebesar apa pengaruh dan manfaatnya? Apakah ‘salaf’ tidak lebih dari sekedar ‘kosmetik’ dan alat justifikasi yang menjamin imunitas dari kritik dan tuduhan ‘sempalan’? Apakah ‘salaf’ itu seperti ‘merek dagang’ sehingga ia harus diperlakukan sebagai copyright lembaga atau kelompok tertentu? Ataukah ‘salaf’ dapat dianggap sebagai ‘nama barang’ sehingga setiap orang yang merasa melestarikan tradisi orang-orang terdahulu berhak untuk menyandangnya? Perlukah ada semacam lembaga ‘penertiban nama aliran’ di tengah umat Islam yang memiliki hak mutlak untuk memberikan dan mencabut atribut keagamaan agar tidak terjadi kesimpangsiuran, sengketa dan perang atribut yang sia-sia? Lebih jauh lagi, Apakah atribut ‘salaf’ dan semacamnya itu bermakna, tidak ambigu dan tidak berbau truth claim (hegemoni teologis)? Apa batasan ilmiah ‘salaf’ dan definisi logis ‘saleh’? Bukankah ruang untuk berbeda pendapat dan penafsiran untuk setiap atribut itu selalu terbuka?
Sebagaimana atribut Ahlussunnah yang sempat diperebutkan oleh kalangan Nahdliyyin dan para penganut Wahabisme (seperti Laskar Jihad Ahlussunnah-nya Jakfar Talib), ternyata merek ‘salaf’ juga menjadi sengketa. Salaf adalah kata Arab yang berarti ‘berlalu’ sebagai lawan dari ‘khalaf’ yang berarti ‘menyusul’. Salafi adalah predikat bagi orang-orang Muslim yang memiliki jargon ‘mengikuti para salaf’ (terdahulu), seperti para ulama dan terutama para pendiri mazhab.
Sebutan ini lebih sering digunakan sebagai upaya menghindari penyebutan ‘wahabisme’ yang cenderung sinis Kata ‘salafi’ tidak lain adalah kemasan lain dari teologi Wahabi yang didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M.. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus {Siria], Iran, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia kawin dengan seorang wanita kaya. Lalu berpindah ke Basra dan mengajar selama 4 tahun di sana.
Ketika pulang ke kampung halamannya, ia menulis buku yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn atau as-Salafiyun. Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Saat sering memberikan khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi.
Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni Segala yang dianggapnya tidak dilakukan Nabi, dianggap bid’ah. Tapi ia sendiri tidak melakukan penelitian yang cermat terhadap biografi Nabi. Itu sebabnya, tatkala pemerintah Saudi ‘terpaksa’ menggunakan telepon, TV, radio dan lain-lain, kaum Wahabi ini melakukan perlawanan keras. Tetapi hadis-hadis yang mewajibkan Muslim taat pada pemerintah yang baik maupun yang fasik yang banyak sekali jumlahnya, digunakan pemerintah untuk menahan dan menganggap mereka sebagai pembangkang bahkan teroris. Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr] setempat pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su’ûd, amir setempat dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi Qhadi (jaksa agung). Ibnu Su’ûd mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb.
Penaklukan-penaklukan pun dilakukan, terhadap para kabilah dan kelompok yang menolak mazhab mereka, termasuk Makkah dan Madinah dan akhirnya bentuk pemerintahannya berubah dari emirat menjadi kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1932 sampai sekarang. Pada bulan April tahun 1801, mereka membantai kaum Syî’ah di Karbalâ’. Seorang penulis Wahhâbi menulis: ‘Pengikut Ibnu Su’ûd mengepung dan kemudian menyerbu ke kota itu. Mereka membunuh hampir semua orang yang ada di pasar dan rumah-rumah. Harta rampasan [ghanîmah] tak terhitung Mereka hanya datang pagi dan pergi tengah hari, mengambil semua milik mereka. Hampir dua ribu orang dibunuh di Karbalâ’ (Utsmân bin Bisyr, Unwân al-Majd fî Târîkh Najd , akkah, 1349, jilid 1, hlm 121-122). Muhammad Finati, seorang mualaf Italia yang ikut dalam pasukan Khalifah ‘Utsmaniyyah yang mengalahkan kaum Wahhâbi menulis : ‘Sebagian dari kami yang jatuh hidup-hidup ke tangan musuh yang kejam dan fanatik itu, .dipotong-potong kaki dan tangan mereka secara semena-mena dan dibiarkan dalam keadaan demikian. Sebagian dari mereka, aku saksikan sendiri dengan mata kepala tatkala kami sedang mundur. Mereka yang teraniaya ini hanya memohon agar kami berbelas kasih untuk segera mengakhiri hidup mereka.’
Kabilah-kabilah yang tidak mau mengikuti mazhab mereka dianggap kafir ‘yang halal darahnya’. Dengan demikian mereka tidak dinamakan perampok dan kriminal lagi, tapi kaum ‘mujâhid’ yang secara teologis dibenarkan membunuh kaum ‘kafir’ termasuk wanita dan anak-anak, merampok harta dan memperkosa istri dan putri-putri mereka yang dianggap sah sebagai ghanîmah. Hanya sedikit yang dapat melarikan diri.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala mereka memasuki kota Thâ’if tahun 1924, mereka menjarahinya selama tiga hari. Para Qhadi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai beserta ratusan lainnya yang dibunuh.
Kemenangan suku badui dari klan Saud sangat bergantung pada dukungan Kolonialisme Inggris. Berkat gucuran dana, suplay senjata dan pendidikan keterampilan, kekuasaan Ibnu Su’ûd menyebar ke seluruh Jazirah Arab yang masa itu berada dalam kekhalifahan ‘Utsmaniyah dengan tujuan melemahkan khilafah itu. Orang bisa membacanya dalam buku Hamsfer, ‘Confession of a British Spy’. Tahun 1800 seluruh Jazirah Arab telah dikuasai dan keamiran berubah menjadi kerajaan Saudi Arabia
Dilaporkan bahwa tatkala Istambul mengirim pasukan yang dipimpin Muhammad ‘Alî Pasha, yang masa itu menjadi gubernur khilafah ‘Utsmaniyah di Mesir, berhasil menangkap Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb yang diduga berencana menyerbu Mekkah lalu diborgol ke Istambul. Pengadilan Syari’ah memutuskan ia bersalah melakukan pembunuhan, perampokan dan pemberontakan. Sedang para mufti empat mazhab memvonisnya sebagai kafir dan murtad. Tahun 1206 H [1792 M.] karena menolak bertobat ia dihukum mati. Mayatnya dibakar karena tidak boleh dikuburkan di pekuburan.
Umumnya kaum intelektual dan ulama Sunnî – penganut 4 mazhab ‘resmi’ Hanafi, Syafi’i, Maliki dan Hanbali– menganggap kaum Wahhabi, termasuk pendirinya, sebagai kelompok yang berpikir sangat linier, literer sambil menolak metafor [majâz], sangat denotatif dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’ân maupun hadis. Mereka menganggap mazhab selain yang mereka anut sebagai sesat dan menyesatkan dengan berpatokan pada hadis: ‘Kullu bid’ah dhalâlah wa kullu dhalâlah fî n-nâr’, semua inovasi itu sesat dan semua yang sesat itu masuk neraka. Dengan demikian, bid’ah hanyalah euphemism, kata pelembut, untuk ‘kafir’. Misalnya, mereka menganggap berziarah ke kubur termasuk kubur Nabi, tawassul, baca qunût, talqîn. tahlîl, istighâtsah berzikir berjamaah, membaca burdah berupa puji-pujian pada Nabi yang biasa dilakukan kaum Muslimin adalah bid’ah, dan pelakunya akan masuk neraka, alias kafir. Pada masa awalnya, di tempat asalnya, Saudi, mereka menolak penggunaan telepon, radio dan televisi, karena dianggap bid’ah.
Oleh karena itu, tempat-tempat bersejarah Islam seperti rumah tempat lahir Nabi, rumah Ummul Mu’minîn Khadîjah, tempat tinggal Nabi dihancurkan. Kalau tidak diprotes kaum Muslimin sedunia, kuburan Nabi sudah dihancurkan pula. Maka orang tidak heran tatkala kaum Thaliban menghancurkan kuil Buddha di Afghanistan. Dan kita dapat menduga bahwa kalau mereka ini berkuasa, semua peninggalan sejarah kita akan mereka ratakan dengan tanah.
Tidaklah mengherankan, bila pengeboman masjid-masjid di Najaf dan Karbala yang memakan banyak korban tidak memancing empati dan solidarotas mereka untuk mengecam, karena sangat mungkin mereka menganggap kaum Muslim Syiah adalah kafir bahkan lebih kafir dari non Muslim. Sebaliknya, karena semangat fanatisme kemazhaban yang berlebihan, ketika Falujjah digempur tentara AS, mereka berbondong-bondong melakukan aksi demo di seluruh kota.
Kalangan tradisional Islam, terutama NU, mengaku sebagai para pengikut salaf. Itulah sebabnya hampir seluruh pusat pendidikan agama (pesantren) diberi nama ‘al-ma’had as-salafi’ sebagai penegasan pola keberagamaan kaum nahdliyin yang berbeda dengan kelompok Islam lainnya.
Para pengikut teologi ekstrem Wahabisme, yang umumnya sangat membenci tradisi Sunni, juga getol menggunakannya sebagai sampul. Mereka mengaku sebagai penganut Salafiyah seraya menolak sebutan Wahabiyah.
Di luar dua kelompok ini, para sufi, terutama kalangan alawiyin yang bermazhab Sunni, mengaku mempertahankan ajaran salaf saat mengutarakan penolakan terhadap pandangan Syiah dan lainnya. (copyright majalah dwimingguan ADIL)