Majalah atau tabloid ini belum pernah terbit di Indonesia. Namun, andaikan terbit, paling tidak, ia harus menyandang dua ciri khas. Pertama, ia gemar melakukan manipulasi jurnalistik; membuat juice opini dan fakta. Supaya terkesan fair dan menyajikan liputan both side, sekaligus jurus tangkis bila dituding subjektif, ia menyelipkan wawancara ala kadarnya di tengah hamparan luas liputan yang sarat dengan tuduhan, prejudice, hujatan, sarkasme, hiperbola, dan, tentu saja, judul-judul provokatif yang mendiskreditkan agama dan paham lain. Misalnya, ia menurunkan berita tentang konflik dengan ulasan dan opini yang cenderung ‘mengompori pihak tertentu’ sekaligus mendiskreditkan pihak tertentu lainnya. Kadang majalah yang berisi palu-palu vonis sepihak ini tidak segan-segan menyebut nama agama dan penganutnya dalam berita dan analisisnya. Lebih daripada itu, ia tidak lelah mengaduk-aduk isu kebencian antar-umat beragama atau menyebut etnis minoritas dalam setiap edisinya. Ia bahkan terangan-terangan melawan arus besar opini umat Islam di Indonesia, yang diwakili NU dan Muhammadiyah, dengan menyerang secara serampangan salah satu mazhab Islam yang dianut seperempat umat Muslim di dunia, dengan judul-judul sadis seperti “Awas Akidah Sesat!”, “Bahaya Pemurtadan” dan aksara-aksara sejenisnya.
Kedua, supaya lebih terkesan sangat relijius, sebagai strategi untuk meraih pembaca yang polos dan demen simbolisme, majalah ini menggunakan sejumlah istilah Arab, meski terkadang ‘asal comot’. Tata letaknya yang amburadul dan redaksinya yang ‘asal ketik’, juga desain sampulnya yang jauh dari estetika, tidak perlu dijadikan sebagai ciri khas ketiga.
Majalah dengan dua ciri khas ini diproyeksikan menjadi corong kelompok “monopoli tafsir agama”. Karena itulah, pantas bila majalah ini diberi nama ‘Kabili’ (mengambil karakter Kabil putra Adam yang membunuh saudaranya, Habil).
Tanpa menelisik lebih jauh rangkaian asal muasalnya dengan menggunakan ‘Conspiracy Theory’, majalah sejenis ini yang belagak seperti naga yang menyeburkan api kebencian dan tuduhan sesat kepada kelompok lain, semestinya tidak dibiarkan dengan alasan kebebasan berekspresi dan pers, karena ia malah ingin memasung kebebasan beragama di tengah masyarakat Indonesia yang plural.
Bagaimanapun, agama yang kita anut adalah produk sebuah persepsi yang subjektif dan relatif. Karena itu, menganggap persepsi dan interpretasi tentang agama maupun mazhab sebagai sesuatu yang mutlak adalah ilusi dan utopia. Lebih dari itu, memaksakan “satu Islam” versi golongan tertentu, kepada semua penganut Islam yang terpencar dalam berbagai golongan dan mazhab, bisa dianggap sebagai ekstremitas dan menafikan kebinekaan. Ia bahkan menyalahi konsepsi Islam yang dasar.
Menurut Nurcholis Madjid, perbedaan yang ada hanyalah dalam bentuk respon khusus tugas seorang Rasul kepada tuntutan zaman dan tempatnya. Maka perbedaan itu tidaklah prinsipil, sedangkan ajaran yang pokok atau syariat para nabi dan rasul adalah sama, sebagaimana ditegaskan dalam sejumlah ayat al-Quran. (asy-Syura, 42:13, an-Nisa’, 4:163-165, al-Baqarah, 2:136, al-Ankabut, 29:46, asy- Syura, 42:15).
Islam Sunni dan Islam Syiah adalah realitas yang determinan. Keduanya adalah sebuah peradaban agung Islam yang harus dikelola, diapresiasi, dikembangkan dan tidak semestinya didikotomikan. Syiah, sebagaimana disaksikan oleh situs-situs sejarah, adalah bagian integral dari khazanah budaya bangsa Indonesia. Itu berarti, menolaknya sama dengan mengingkari fakta sejarah.
Selain itu, usaha-usaha untuk menolaknya, baik dengan provokasi media ala majalah “Kabili” yang mengobarkan api kebencian terhadap masing-masing ajaran dan para tokohnya hanya akan menguntungkan pihak-pihak eksternal, terutama sentra-sentra hegemoni yang kapitalistik dan sekular.
Apa jadinya bila setiap aktivitas keagamaan kelompok minoritas agama dan mazhab diadili in absentia (rajm bil-ghaib) melalui majalah dan media ‘yang asal ketik’ ini? Apa jadinya bila ajakan dialog dan konfirmasi dibalas dengan vonis sesat dan kafir?
Untungnya, media yang eksklusif demikian, pada umumnya, tidak mampu menggugurkan kritisisme pembaca Indonesia yang tidak suka pantang dijejali dengan provokasi sektarian. Fakta kemenagan Hizbullah yang diketahui Muslim Syiah atas dan fakta Iran sebagai donatur terbesar Pemerintahan Hamas yang Sunni, dan sambutan hangat rakyat kedatangan Ahamdinejad di Indonesia beberapa bulan lalu, sebagaimana terbukti dari dominasi buku biografinya di list best seller selama beberapa bulan, terlalu kokoh untuk dirobohkan dengan provokasi sektarian ala majalah ‘Kabili’dan semacamnya. Itu semua menjadi indikator yang menyejukkan bahwa bangsa Indonesia, terutama umat Islam, tidak bisa diperlakukan sebagai ‘keranjang’ provokasi dan agitasi dan ajakan anti sesama Muslim.
Indonesia yang kita cintai ini adalah hasil perjuangan para pahlawan dari ragam agama dan golongan. Islam di Indonesia juga merupakan hasil dakwah para mubalig dari ragama negara, termasuk dari Gujarat dan Persia yang bermazhab Syiah, sebagaimana sejarah membuktikannya. Sudah saatnya kita pekikkan Satu Umat Yes, Satu Mazhab No. “Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu. Maka sembahlah aku.” (dwimingguan ADIL)