MARAKNYA RELIGIUSITAS BERBAYAR

MARAKNYA RELIGIUSITAS BERBAYAR
Photo by Unsplash.com

Setiap kali mendarat dan akan terbang saya melihat relijiusitas kian marak. Entah kenapa hati saya seolah jadi kancah laga antara senang dan muak. Senang karena umroh adalah ibadah tak wajib yang dianjurkan. Muak karena setiap pelaku umroh merupakan devisa bagi rezim cabul hipokrit penjajah Yaman.

Puluhan atau mungkin ratusan orang berseragam travel umroh memadati bandara. Emak-emak bersama anak dan cucu-cucu mereka terlihat ceria penuh pendar syukur berbincang dengan selingan tawa. Kerabat dan karyawan juga mungkin tetangga yang mengantar terlihat hormat mendengarkan pesan dan tausiah calon mu'tamir berbusana gamis yang tak sabar ingin menyapa petugas imigrasi di Jeddah dan mencium hajat aswad. Sangat mungkin sebagian lupa jumlah umroh yang telah dilakukannya. Untungnya, mereka tetap pulang dan tak menetap di sana.

Masya Allah! Sudah relijius, makmur pula. Industri ritual seakan didukung malaikat karena tak goyah oleh depresiasi dan lonjakan harga tiket.

Selain masya Allah, juga inna lillah. Negeri ini laksana pentas drama parodik. Banyak yang mengeluhkan situasi ekonomi yang sulit, tapi ibadah-ibadah berbayar makin marak dan konsumerisme ritual makin menggila.

Read more