Puasa yang kita jalankan menentukan kualitas diri kita. Tipikal orang yang berpuasa selalu sama, tidak makan-minum dan berhubungan seks di siang hari. Tapi motif tiap orang berbeda-beda, mulai dari yang sakral hingga profan. Pada umumnya orang berpuasa karena niat ibadah, mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Tapi ada pula yang terpaksa berpuasa karena ‘terjebak’, karena di bulan Ramadan tidak ada tempat makan yang buka di siang hari. Ada juga yang berpuasa karena kesulitan ekonomi. Tidak jarang ada pula orang yang berpuasa agar keinginannya dikabulkan Allah. Setiap orang akan diantarkan pada tujuannya masing-masing. Salah satu sarananya adalah berpuasa.
Tidak heran, suasana Ramadan di Indonesia tidak berbeda jauh dengan sikap dan gaya hidup masyarakat di bulan-bulan sebelumnya. Bagi masyarakat konsumeris, bulan Ramadan dijadikan momentum borong pakaian diskon dan mencicipi bermacam kudapan untuk berbuka puasa.
Tempat-tempat penginapan di luar Jabotadebek penuh beberapa hari menjelang Idul Fitri. Tempat hiburan di pantai, pemandian air panas, hingga kebon binatang memamerkan lautan manusia, saking padatnya.
Bulan Ramadan menampilkan wajah asli kita. Perut boleh keroncongan. Tapi nafsu belanja dan balas dendam karena puasa seharian tidak bisa ditahan oleh siapa pun.
Tapi apa mau dikata, kualitas puasa sebanding dengan pemahaman dan komitmen kita kepada Allah Swt. Tidak bisa dipaksa. Meskipun sudah dibekali sekarung pengetahuan, nilai puasa bisa menguap lebih cepat dari ketel. Tanpa keikhlasan dan kerendahhatian, puasa hanyalah sebentuk kompilasi teori.
Sehingga, fokus puasa pada kesehatan menjadi pilihan umum sebagian besar pelaku. Mereka sangat khawatir menemui kesulitan dan penderitaan saat berpuasa. Mereka seakan meminta garansi kepada Tuhan bahwa ibadah yang diperintahkan-Nya tidak akan merenggut kebahagiaan dan kesenangan yang selama ini mereka rasakan. Alih-alih sehat, dramatisasi puasa bisa membuat mereka benar-benar sakit karena niatan ibadah teralihkan oleh asumsi-asumsi tentang tubuhnya.
Puasa yang hakikatnya adalah ibadah, bisa pula dimaknai sebagai ritus penyiksaan karena menghambat kita untuk makan dan minum sesuka kita. Dendam ini kemudian mendominasi alam bawah sadar kita, mengaktual saat kita menghadapi bermacam-macam hidangan berbuka puasa. Menu kita sebelum bulan Ramadan terasa menjadi sangat sederhana. Alih-alih mentransformasi kesadaran untuk sederhana dan prihatin, tersubordinasi dalam lingkaran gaya hidup kita.
Puasa tidak boleh menghalangi segala aktivitas keduniaan kita dalam mencari nafkah dan beraktualisasi dalam kehidupan sosial dan kemasyarakatan. Seharusnya malah membuatnya semakin berkualitas. Hendaknya puasa tidak mendramatisir hidup kita menjadi semakin sulit. Dengan alasan puasa, aktivitas kita dalam beribadah kepada Tuhan dan berkhidmat kepada kemanusiaan malah semakin loyo, tidak fokus, dan lamban.
Bila kita belum meresapi spiritualitas puasa, setidaknya kita mengakui pentingnya puasa bagi kesehatan kita. Kita bisa memetik manfaat dari pola makanan yang berubah dari kebiasaan sehari-hari. Tubuh pun kita sadari juga tetap bugar dan sehat karena organ tubuh kita bisa lebih banyak beristirahat.
Tapi kita tetap harus berupaya agar puasa Ramadan ini lebih mengantarkan kita pada pemaknaan batin batin yang lebih dalam, kesadaran dan solidaritas sosial yang lebih peka, dan pemaknaan tentang dunia yang lebih arif.
Marhaban ya Ramadan. []