MASALAH PENTING YANG KERAP DIABAIKAN (Bagian 1)

MASALAH PENTING YANG KERAP DIABAIKAN (Bagian 1)
Photo by Unsplash.com

Meski berulang kali diterangkan melalui tulisan dan lisan, beberapa tema penting sering kali diabaikan karena dianggap rumit. Akibatnya, yang beredar luas dalam komunitas Syiah adalah info yang bersumber dari pemahaman salah atau tidak utuh yang justru mengundang reaksi negatif publik di luar komunitas. Salah satu tema itu adalah Wilayatul Faqih, kedudukan marja' dan mujtahid, jangkauan kewenangannya serta pola hubungan dengan wali faqih, marja" dan rahbar.

Kadang karena ketidakjelasan maksud dan arti sebuah kata, kesimpulan yang diperoleh bisa sangat melenceng. Bila kesalahpahaman tentang isu fundamental ini dalam komunitas masih kuat, maka wajarlah bila publik di luar komunitas juga menyalahpahaminya. Karena itu tema ini perlu dijelaskan ulang dengan cara yang sederhana dan mendapatkan perhatian khusus, terutama para pengiman imamah dan wilayah faqih serta pentaqlid marja'.

Ijtihad adalah keterampilan atau kompetensi menyimpulkan hukum elementer dan mengindentifikasi tugas operasional dalam bidangnya. Sebagian ulama mendefiniskan ijtihad sebagai “mencurahkan jerih payah demi memperoleh hujjah atas suatu realitas.” (Ar-Ra’yus-Sadid, Mushlathahat Al-Ahwal, 25).

Mujtahid

Mujtahid adalah mukallaf yang mencurahkan tenaga dan jerih payah dengan cara-cara legal secara rasional dan konvensional guna menghasilkan sebuah dalil atas hukum dan fatwa berdasarkan sumber-sumber ijtihad.

Ada dua macam mujtahid, mujathid kulli (universal), yaitu seseorang yang ijtihadnya meliputi semua bidang hukum zhanni; dan mujathid juz’i atau mutajazzi (partikular), yaitu seseorang yang ijtihadnya hanya meliputi sebagian bidang hukum zhanni.

Marja’

Mujathid kulli (muthlaq) bermacam dua; mujtahid yang tidak ditaqlid; dan mujathid yang ditaqlid, yaitu dijadikan sebagai rujukan dalam masalah-masalah hukum dhanni. Dengan demikian, jelaslah bahwa perbedaan antara mujathid (baca: mujtahid kulli) dan marja’ tierletak pada ada dan tidaknya seseorang yang menjadi muqallidnya. Memang ada sejumlah syarat tambahan bagi mujtahid yang menjadi marja’, seperti a’lamiyah dan laki-laki, menurut pendapat yang populer. Dialah marja’.

Faqih non Wali dan Wali Faqih

Pada dasarnya setiap mujathid adalah faqih, dan setiap faqih memiliki potensi wilayah, yaitu ‘masyru’iyah’ (legitimasi yang diperoleh dari Tuhan secara tidak langsung). Namun hanya satu faqih yang bisa mengaktualisasikan potensi wilayahnya. Aktualisasi potensi ini hanya bisa dilakukan mana kala faqih memperoleh ‘maqbuliyah’ (akseptabilitas), yaitu ketika sejumlah perangkat objektif telah terhimpun di sisinya, seperti masyarakat yang siap menaatinya meski tidak dalam jumlah yang dominan dan state atau teritori yang memungkinnya melakukan kontrol terhadap publik.

Untuk mengukur dan memastikan akseptabiliyas publik, sejumlah opsi bisa diambilnya, antara lain dengan melakukan jajak pendapat, survei, referendum, instruksi yang secara kasat mata diikuti oleh banyak anggota masyarakat, dan mekanisme lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan akurasinya.

Antara Marja’ dan Wali Faqih

Lalu apa yang membedakan antara marja’ dan wali faqih? Banyak sekali yang bisa dijadikan sebagai ciri pembeda, antara lain sebagai berikut:

Wali Faqih

  1. Kepatuhan adalah pola interaksi antara faqih yang memegang otoritas (wilayah) dan umat yang meyakiinya sebagai pemegang mandat otoritas vertikal imam suci pada masa kegaiban.
  2. Wali faqih, tanpa aksebtabilitas umat, secara otomatis tidak mengaktualisasikan kewenangannya alias tidak berkuasa.

Marja'

  1. Taqlid adalah pola interaksi antara faqih (mujtahid) dan awam yang merujuk kepadanya. Ia bersifat opsional dengan menentukan satu faqih atau mujtahid yang sebagai rujukannya dalam semua ibadah dan muamalah atau rujukannya dalam sebagian bidang ibadah juga muamalah.
  2. Marja' (faqih yang bukan wali) berhak melakukan ifta’ (mengeluarkan hasil ijtihad atau fatwa) terkait ibadah dan muamalah, juga melakukan tahkim dan menerima dana-dana syar’i seperti khumus, nazar, zakat dan sebagainya.
  3. Marja’ tidak memerlukan akseptabilitas dalam menjalankan fungsinya sebagai rujukan fatwa.

Antara Wali Faqih dan Rahbar

Samakah arti Wali faqih dengan Rahbar, dan Wilayah Faqih dan Rahbari (zaa’amah)?

Wali Faqih

  1. Wali Faqih adalah seorang faqih (mujtahid yang ditaqlid maupun yang tidak dianggap marja) pemegang kewenangan keagamaan yang tunggal, sentral, final, global dan temporal sebagai pemegang mandat kewenangan aktual imam suci.
  2. Wali Faqih tak bersyarat warga negara tertentu dan berasal dari etnik tertentu.
  3. Wali Faqih adalah seorang faqih yang memperoleh mandat otoritas keagamaan atau legitimasi vertikal secara tak langsung dari Imam suci (tanpa proses pemilihan) dan telah mengaktualisasikannya setelah mendapatkan penerimaan dan bukti kesetiaan sekelompok umat.
  4. Kewenangan Wali Faqih bersifat keagamaan yang berlaku atas setiap orang yang menganggap Wali Faqih sebagai pelanjut kewenangan imam suci pada masa kegaiban.

Rahbar

  1. Rahbar’, yang berasal dari kata Parsi ‘rah dan bar (jalan dan memandu = pemandu jalan) adalah sebuah predikat formal kenegaraan (politik) yang disandang oleh seseorang mujtahid (faqih) yang memegang kekuasaan tertinggi sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi dan undang-undang negara Republik Islam Iran yang hanya mengikat warganegara Iran, Muslim maupun non Muslim.
  2. Rahbar (Pemegang kekuasaan tertinggi dalam struktur negara RII) harus warganegara dan memenuhi syarat-syarat administrasi lainnya).
  3. Rahbar adalah faqih yang punya potensi otoritas dan mengaktualisasikannya bila dipilih oleh suara terbanyak para anggota Dewan Ahli yang merupakan salah satu lembaga resmi negara RII.
  4. Kewenangan Rahbar bersifat konstitusional RII (yang disarikan dari Islam) yang hanya mengikat setiap warganegara Iran, yang Muslim dan non Muslim, Muslim Syiah dan Muslim non Syiah.

Bila seseorang adalah wali faqih sekaligus rahbar, bagaimana membedakan perintahnya sebagai Wali Faqih dan insktrusinya sebagai Rahbar?

Cara membedakannya perintah Wali Faqih dan instruksi atau dektrit Rahbar adalah mengidentifikasi subjek dan objek serta konteks pernyataan yang diberikannya.

Dengan demikian, orang Indonesia yang bermazhab Syiah dan mengimani Wilayah Faqih hanya terikat secara keagamaan dan kultural dengan figur Sayyid Ali Khamenei, misalnya, yang juga menjadi pemimpin tertinggi (rahbar) di Iran. Ia juga terikat secara keagamaan dengan seorang faqih yang diyakininya sebagai muqallad atau marja’. Selebihnya, setiap warga Indonesia yang bermazhab Syiah terikat dengan asas negara dan undang-undang dasar Indonesia sesuai hukum instruktif yang ditetapkan Wali Faqih.

Read more