Skip to main content

Beberapa hari lalu Presiden Joko Widodo bersama Presiden Uni Emirat Arab (UEA), Mohammed bin Zayed (MBZ) meresmikan Masjid Sheikh Zayed Al-Nahayan di Solo, merupakan replika dari masjid Sheikh Zayed Grand Mosque di Abu Dhabi, UEA.

Marmernya didatangkan langsung dari Italia sebagai pembungkus seluruh lantai dan sebagian dinding masjid. Pembangunan masjid yang megah dan mewah itu menelan biaya sebesar hampir Rp 300 Miliar yang sepenuhnya ditanggung oleh MBZ.

Entah ini masjid keberapa yang telah dibangun di negeri ini. Yang pasti, ada ribuan masjid yang sedang dan akan terus dibangun

Ada dua macam masjid; masjid khusus berupa bangunan khas, dan masjid umum, yaitu area publik yang sah untuk shalat di atasnya.

Bila waktu untuk shalat tersisa sedikit, tak perlu mencari bangunan bernama masjid karena bumi (kecuali area privat) adalah masjid. Bumi seluruhnya adalah masjid.
Pelaku sujud lebih penting dari tempatnya. Nabi bersabda “Dijadikan untukku bumi sebagai masjid dan suci.” (HR. Bukhari

Kecuali masjid MBZ dan beberapa masjid, umumnya pembangunan dan renovasi masjid (dalam pengertian khusus) sering kali terkesan dipaksakan dan menambah beban finansial masyarakat juga mengganggu lalu lintas juga berandil dalam menambah angka kecelakaan. Ia bahkan menjadi semacam “proyek komisian”.

Banyaknya masjid bukan indikator meningkatnya kesalehan. Megahnya masjid tidak diukur dari semen, lantai dan ornamen tapi dari pesan toleransi dan ukhuwah yang disebarkannya. Dulu setiap masjid dianggap sebagai ‘rumah kita’. Sekarang seolah rumah bagi yang merasa ‘sudah pasti masuk surga’.

Yang pasti, saat ini jumlah rumah ibadah umat agama lain dibatasi oleh massa dan peraturan yang ketat dan jumlah sekolah dan fasilitas umum masih dirasa kurang.