MA’TAM, MAQTAL DAN KONTEKSTUALITAS ASYURA

MA’TAM, MAQTAL DAN KONTEKSTUALITAS ASYURA
Photo by Unsplash.com

Al-Husain telah gugur.

Husainisme tak pernah gugur.

Karbala adalah peristiwa dulu dan di sana, tapi spiritnya adalah kini dan di sini.

Menghayati spirit anti kezaliman Al-Husain tak kalah penting dari menangis sebagai ekspresi duka dalam setiap acara Asyura.

Pelaksanaan acara peringatan Asyura harus disertai dengan kearifan lokal dan semangat kebangsaan.

Menepuk dada sebagai ungkapan turut berduka dan rasa kehilangan adalah manusiawi. Tak perlu repot mencari dalil teks untuk itu.

Cara pelaksanaan peringatan Asyura dengan ritual khas tidak lebih penting dari tujuan pelaksanaannya.

Menepuk dada bisa bermakna empati sekaligus ekspresi kesiapan melindungi yang terzalimi.

Belum siap secara psikis untuk menepuk dada saat memperingati Asyura harus dimaklumi.

Ma’tam atau kidung Asyura harus memuat aspek ratapan dan resapan, duka dan gelora.

Pembuat/pelantun ma’tam perlu memperhatikan estetika kata, logika bahasa dan kronologi cerita, bukan hanya memuat aneka kata sendu.

Pelantun ma’tam haruslah orang yang disepakati bersuara merdu dan menjiwai konten, bukan hanya bersemangat.

Pembacaan Maqtal lebih berat dan rumit dari ceramah. Ia adalah acara utama majelis Peringatan Asyura.

Pembacaan Maqtal (kisah tragedi Karbala) adalah aksi seni narasi teatrikal verbal yang memerlukan konsentrasi, skil olah suara, citarasa bahasa, suara utuh, stamina dan kepekaan tinggi.

Bila banyak orang berjingkrak-jingkrak mengikuti musik dengan lirik bermuatan hura-hura yang jauh dari spirit perlawanan, mestinya menepuk dada mengenang epos Asyura bisa dimengerti

Read more