MATERI

MATERI
Photo by Unsplash.com

Kita selalu menyandingkan kata materi (yang maknanya adalah benda) dengan kata ilmu (yang esensinya adalah sesuatu yang tak berbentuk benda), seperti materi ceramah, materi kuliah dan materi pelajaran. Sadar atau tidak, inilah pikiran yang melejit dari benak dan kata yang meluncur dari mulut kita.

Sedemikian ‘absolut’-nya pengertian di balik kata ini bagi sebagian orang, sehingga dalam komunikasi Barat, terutama Inggris, ‘bukan materi’ (it’s doesn’t matter) yang berarti ‘bukan sesuatu yang penting’ dan ‘bukan benda’ (it’s nothing) yang juga diartikan ‘bukan apa-apa’ pada dasarnya diartikan ‘tidak ada’. Padahal thing (sesuatu, syay’) mengandung pengertian ontologis yang identik dengan eksistensi. Thabathabai dalam Bidayah Al-Hikmah (pasal 9) mengafirmasi aksioma "kesesuatuan mengiring eksistensi.'

Mayoritas warga bumi menganggap materi atau benda sebagai semakna dengan ada atau beranggapan bahwa ada adalah sifat lekat bagi benda atau bahkan menetapkan bahwa materi mendahului ada.

Inilah pandangan dunia materialisme yang terlanjur terinstall dalam benak sebagian besar manusia, termasuk yang mengaku bertuhan dan beragama.

Karena sama-sama materialis, tak mengherankan bila perilaku sebagian bahkan sebagian besar orang-orang yang dikenal bertuhan dan beragama pun kerap bertentangan dengan klaim kebertuhanan dan keberagamaannya.

Ternyata tak ada seorangpun yang tidak bertuhan, atau paling tidak, setiap orang secara sadar atau tidak, mengakui adanya ujung rangkaian kausal dalam dunia kosmik. Ujung rangkaian itu disebut dengan ‘materi’.

Inilah "'tuhan sejati' bagi sebagian manusia, yang mengaku ateis dan yang mengaku teis. Inilah sumber utama semua perilaku buruk yang dalam bahasa agama disebut, hawa nafsu.

Biang semua keburukan individual dan sosial adalah penolakan konseptual terhadap eksistensi Tuhan yang tercemin dalam pengingkaran aktual. Pengingkaran aktual terhadap realitas immaterial meniscayakan lepasnya keterikatan dengan norma kepatuhan kepada otiritas transenden yang membatasi kehendak dan ruang gerak. Pengingkaran aktual terhadap meniscayakan lenyapnya keyakinan tentang kemestian punishment and reward di balik realitas immaterial.

Semua ceramah dan nasihat serta anjuran beriman dan beribadah takkan mendarat di atas benak yang terkungkung dalam mindset materialisme. Semua narasi agama terbaca dan terdengar sebagai klise dan kisah daur ulang yang menjemukan karena hanya rangkaian kata yang tak bermakna, bahkan industri pembodohan dengan rayuan sorga dan ancaman neraka yang unreal.

Read more