Skip to main content

Melawan Israel dengan Musik

By April 8, 2010No Comments

Siapa bilang senjata perang hanya berisi peluru dan bubuk mesiu? Senjata untuk berperang di medan laga pun bisa diisi dengan notasi yang menghasilkan nada-nada indah. Barangkali senjata ini memang tidak ampuh untuk memenangkan peperangan di antara desingan peluru. Namun, senjata bernama musik bisa menjadi penyelamat identitas musisi Palestina, khususnya mereka yang tinggal di Israel dan timur Yerusalem.

Musisi Palestina menggunakan musik sebagai media perlawanan. Maka, Rim dan kawan-kawan tidak menciptakan lagu cinta platonik. Lirik yang mereka tulis adalah suara perlawanan. “Kalau tinggal di Palestina, barangkali kami tidak akan bisa bermusik dengan cara seperti ini,” katanya.

Rim menambahkan, pendudukan Israel secara tidak langsung sudah memberikan inspirasi. “Sekarang kami bisa menciptakan lirik tentang Palestina,” paparnya.

Dasar bermusik tetap sama, yaitu menciptakan kesenian yang indah. Lirik lagu Rim dan kawan-kawan disusun secara khusus sehingga maknanya sedikit melunak. Mereka sadar tidak sedang berperang dalam balutan seragam militer.

Mereka hanyalah musisi yang berperang lewat nada dan lirik. Selain Rim, ada seorang penyanyi hip hop di bawah bendera kelompok Da Arabian MC’s (DAM), Tamer Nafar. Penyanyi ini mengaku merasa seperti orang asing di kawasan tempat tinggalnya. Mengapa? “Karena bendera yang berkibar bukan bendera negara saya. Lagu kebangsaan yang saya dengar bukan lagu kebangsaan saya,” tuturnya.

Dia ingin diperlakukan dengan cara yang sama seperti warga lain yang tinggal di Israel. “Kami penduduk Israel. Kami adalah warga negara Israel. Namun kami masih dibedakan dari warga Israel yang sebenarnya,” paparnya.

Tiga anggota DAM, termasuk Nafar lahir dan besar di kawasan pinggiran Lod. Letaknya sekitar 20 kilometer dari Yerusalem. Mereka berhasil merilis lagu yang tenar di kalangan anak muda.

Lagu mereka berjudul Meen Al-Arhaabi atau Who’s The Terrorist? Musik telah memberi kekuatan bagi Rim, Nafar dan rekan-rekannya. “Musiklah yang membuat kami tetap tinggal dan bertahan di sini,” ujar Rim.

Rim termasuk di antara 1,4 juta warga Palestina yang hidup di kawasan pendudukan Israel. Warga Palestina yang tinggal di Israel menempati angka 20 % dari jumlah keseluruhan 7,3 penduduk Israel.
Di Israel, mereka dikenal sebagai Arab Israel. Sebutan ini lebih tenar dibandingkan “warga Palestina yang tinggal di Israel”. Julukan Arab Israel berfungsi untuk membedakan famili-famili yang hidup di tanah Israel.

Rim dan kawan-kawan tidak keberatan dengan sebutan ini. Mereka hanya mementingkan cara supaya tetap bertahan di daerah pendudukan Israel. Mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel Tzipi Livni yang dikenal sebagai sosok Moderat pernah menyatakan pandangan tentang warga Palestina tersebut.

Menurut Livni, warga Paletina yang tinggal di Israel seharusnya tidak menetap di kawasan milik Israel. Livni menggarisbawahi, negara Paletina toh sudah terbentuk. Semestinya mereka hidup di kawasan Palestina, bukan Israel.

Menlu saat ini Israel Avigdor Lieberman sepaham dengan Livni. Beberapa waktu lalu dia pernah menyatakan, pemerintah Israel bakal mengusir warga Palestina yang tidak mengakui kedaulatan Israel.

Pemerintah Israel menghadapi warga Palestina dengan cara yang keras. Sebaliknya, warga Palestina yang tinggal di daerah kekuasaan Israel bergeming. Mereka diam saja menanggapi “meriam kata-kata” yang dilontarkan pemerintah Israel. (okezone)

Mereka kerap merasa tidak nyaman selama tinggal di daerah kekuasaan Israel. Mereka menerima perintah keras dan terkesan mengancam. Namun mereka tidak pernah menggugat balik pemerintah Israel. Barangkali belum.