Skip to main content

Baru-baru ini Monumen Bung Karno, proklamator Kemerdekaan yang selama Orde Baru berkuasa jasa-jasanya disembunyikan, diresmikan di Kabupaten Pulau Morotai, Maluku Utara. Monumen bersejarah itu diresmikan oleh Ketua DPR Puan Maharani yang juga cucu Presiden pertama itu.

Dalam sambutannya, salah satu tokoh muda nasional muda itu menjelaskan latar belakang sejarah pendirian Monumen Bung Karno di kota tersebut. Ia juga menyegarkan kesadaran masyarakat tentang komitmen kebangsaan.

“Komitmen kebangsaan itu yang perlu kita jaga terus bersama, yaitu kemajuan Indonesia harus turut dirasakan masyarakat di Morotai,” sebut Puan.

Komitmen kebangsaan yang disampaikan Puan terasa sangat relevan dengan tantangan dan dinamika sosial saat ini. Komitmen kebangsaan itu memerlukan penyegaran sekaligus penguatan agar komitmen itu terefleksi dalam perilaku setiap warga negara.

Terminologi Indonesia

Meskipun istilah “Indonesia” kerap digunakan, banyak orang belum memahami pengertian “Indonesia”, asal usulnya, serta proses kesejarahan dan kaitannya dengan bangsa (bangsa Indonesia), negara (Negara Indonesia), bahasa (bahasa Indonesia), dan budaya (budaya Indonesia). Sebagian orang menganggap Indonesia sebagai fakta natural yang telah tercipta sejak dahulu, padahal ia terkonstruksi selama perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Orang dan Bangsa Indonesia

Pada dua dasawarsa awal Abad ke-20, istilah “Indonesia” mulai dipopulerkan para cendekiawan untuk membangun rasa kebersamaan dan nasionalisme. Keindonesiaan memberi mereka titik temu walaupun mereka berasal dari latar belakang budaya dan agama yang berbeda-beda.

Istilah ini kemudian digunakan untuk siapa saja yang menolak kolonialisme Belanda, entah itu orang “pribumi”, keturunan Tionghoa, India, Arab, dan Eropa. Alhasil, siapa pun yang membela kemerdekaan Indonesia dapat dikategorikan sebagai “orang Indonesia”. Tapi dalam perkembangannya, kita tahu beberapa kalangan yang dianggap “bukan pribumi” seringkali dipinggirkan.

Orang Hindia atau Indonesia adalah siapa saja yang menganggap Hindia atau Indonesia sebagai tanah airnya, tanpa peduli apakah dia orang Indonesia totok atau keturunan (Tionghoa, Belanda, atau Eropa). Siapa pun warga negara Indonesia adalah orang Indonesia [Utomo, Wildan Sena. April 2014. “Nasionalisme dan Gagasan Kebangsaan Indonesia Awal: Pemikiran Soewardi Suryaningrat, Tjiptomangoenkusumo, dan Douwes Dekker 1912-1914”.]

Pemikiran di atas dipengaruhi dari pandangan Tjipto Mangoenkoesoemo bahwa nation Hindia atau Indonesia terdiri dari berbagai macam golongan (termasuk peranakan Tionghoa, Eropa, dan Arab) yang menganggap Indonesia sebagai tanah airnya dan secara giat memajukan tanah airnya. Mereka yang mengedepankan kepentingan negara asing tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari orang Indonesia. [Suryadinata, Leo. 2010. Etnis Tionghoa dan nasionalisme Indonesia: Sebuah Bunga Rampai 1965-2008. Penerbit Buku Kompas].

Pada 1998, Presiden BJ Habibie mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 1998 yang menghapus penggunaan istilah “pribumi” dan “non-pribumi” dalam segala jenjang peraturan pemerintahan di Indonesia. Istilah “pribumi” dan “non-pribumi” sesungguhnya tidak disebutkan dalam GBHN, dan istilah yang lebih sering digunakan adalah “orang Indonesia asli”. Tidak dijabarkan secara terperinci tentang maksud dari “asli” dalam istilah tersebut.

Upaya pembersihan konstitusi negara dari istilah-istilah rasis mulai digalakkan pada permulaan 2000-an. Pada Amandemen Kedua UUD 1945 tahun 2000, kata “orang Indonesia asli” dihapuskan dari Pasal 26 dalam Bab X tentang Warga Negara dan Penduduk. Pada Amandemen Ketiga UUD 1945 tahun 2001, kata “orang Indonesia asli” dihapuskan dari Pasal 6 tentang presiden dan wakil presiden Indonesia.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan juga tidak lagi menyebut kriteria ras dan etnik. Hal ini menegaskan bahwa semua warga negara di Indonesia memiliki kesempatan dan kedudukan yang sama tanpa membedakan ras atau suku dari mana mereka berasal.

Negara Indonesia

Banyak pula orang yang mengira istilah “Negara Indonesia” hanya bermakna wilayah darat, laut, dan udara tertentu. Padahal, negara adalah organisasi politik wajib dengan pemerintahan terpusat yang mempertahankan monopoli atas penggunaan kekuatan secara sah dalam wilayah geografis tertentu. Tanah, air, dan udara cuma elemen-elemen negara.

Budaya Indonesia

Yang kerap juga disalahpahami adalah istilah “budaya Indonesia”. Seolah ia hanya budaya lokal yang ada pada suku-suku dan daerah-daerah tertentu. Padahal, budaya yang dihubungkan dengan entitas bangsa yang dibentuk secara konvensial sebagai produk kontrak sosial semestinya bersifat inklusif dan koheren dengan konstruksi bangsa.

Budaya Indonesia adalah seluruh kebudayaan nasional, baik itu kebudayaan lokal maupun kebudayaan asing yang telah ada di Indonesia sebelum Indonesia merdeka. Itu artinya, budaya Indonesia tidak hanya mencakup budaya asli bumiputra, tetapi juga budaya-budaya yang mendapat pengaruh budaya Tionghoa, Arab, India, dan Eropa.

Dalam kebudayaan nasional, terdapat unsur pemersatu dari Bangsa Indonesia yang sudah sadar dan mengalami persebaran secara nasional. Di dalamnya, terdapat unsur kebudayaan bangsa dan asing, serta unsur kreasi baru atau hasil invensi nasional.[Direktorat Sejarah dan Nilai Tradsional. “Kongres Kebudayaan 1991: Kebudayaan Nasional Kini dan pada Masa Depan”