MEMERIKSA KLAIM "ILMIAH" VERSI INFLUENCER (2)
(Bagian 2 : yang Ilmiah, Yang Subjektif dan Yang Objektif)
Karena objeknya mudah dikenali, sains disukai mayoritas umat manusia. Selanjutnya ia mendominasi dunia dan membangun peradaban manusia dengan teknologi. Filsafat tersingkir dan dianggap sebagai narasi aneh, rumit, tak nyata dan percuma. Selanjutnya ia hanya menjadi diskursus dan bahan literasi terbatas dalam stoa-stoa terpencil dan ragam pandangannya terserak dalam traktat yang diungkap dalam diksi dan frasa yang terasa asing dan rigid. Orang-orang yang mempelajarinya pun dicap aneh dan obsesif mengejar fatamorgana.
Barat modern telah menetapkan kata sains bagi pengetahuan empiris dan positif. Dunia Arab modern pun mengikutinya. Karenanya, kata ilm (علم) digunakan secara khusus untuk sains, disiplin ilmu tertentu yang berusaha menjelaskan fenomena alam atau dunia dengan metode-metode ilmiah. Ilmu dalam definisi ini mencakup bidang seperti fisika, kimia, biologi dan sebagainya. Kata "alim" (عالم) berarti ilmuwan atau saintis. Sedangkan pengetahuan yang dalam bahasa Inggris disebut knowledge dalam rezim bahasa Arab modern diberi kata "ma'rifah" (معرفة).
Sedangkan Ilm (علم) dalam tradisi klasik Islam justru punya makna yang lebih luas dari sains. Kata "ilm" berarti knowledge sebagai pengetahuan yang mencakup aneka pengetahuan tentang macam-macam bidang khusus, sedangkan ma'rifah (معرفة) diartikan pengetahuan yang spesifik, termasuk sains. Atas dasar itu, Allah menyandang sifat alim namun tidak menyandang sifat Arif.
Dalam literatur filsafat Islam kata ilm dan ma'rifah tidak dibedakan berdasarkan kata tapi dibedakan melalui konteks dan keterangan yang dipilih oleh masing-masing filsuf, meski belakangan ada upaya penertiban sejumlah istilah dalam filsafat sejak Mulla Sadra mendiagnosis kerancuan bahasa seputar sinonim dan homonim kata dan makna wujud sebagai salah satu penyebab polemik seputar eksistensi dan esensi atau quiditas. Inisiasi penertiban bahasa filsafat juga dilakukan di dunia Barat oleh sejumlah filsuf dan ahli bahasa seperti Ludwig Wittgenstein, Bertrand Russell dan Ferdinand de Saussure.
Alfabet epistemologi Islam dimulai dari “prinsip kehadiran” (ashalat al-hudhur). Tanpa itu, agnosisme dan skeptisisme serta relativisme (dalam pengetahuan) menjadi nasib yang tak terelakkan.
Pengetahuan hudhûrî telah dikenal sebagai salah satu ciri khas filsafat Islam. Sejak awal kali diketengahkan oleh al-Farabi, Ibnu Sina dan Surhawardî. Yang berperan penting dalam pengembangan jenis ilmu ini adalah Mollâ Shadrâ.
Pada era pasca Molla Sahdra, ilmu hudhûrî yang terus dikaji akhirnya didefinisikan secara beragam. Paling tidak, ada enam definisi untuk ilmu huduri, di samping tentunya definisi yang ia ajukan sendiri. Dan hingga kini, menurut Hasan Moallemi, definisi yang diberikan Mohammad Taqî Meshbah Yazdî lebih diterima dan menjadi postulat kajian-kajian seputar ilmu hudhûrî.
Epistemologi Sadrian melandaskan hierarki pengetahuan pada prinsip hudhûr (kehadiran), sebagai infrastuktur yang menjamin tidak meniscayakan akibat tasalsul (continuum ad infinitum). Epistemologi metafisis ini menegaskan bahwa pengetahuan setiap orang tentang dirinya sebagai maujud pelaku persepsi adalah pengetahuan yang tak dapat disangkal. ‘Aku’ dan ego yang melakukan pencerapan dan pemikiran, yang dengan penyaksian batinnya (شهود / syuhûd) sadar akan dirinya sendiri, tanpa sarana pengindraan, percobaan, (perolehan) bentuk-bentuk ataupun konsep-konsep mental. Dengan kata lain, diri itu sendiri adalah pengetahuan. Dan dalam pengetahuan serta kesadaran ini, pengetahuan dan subjek dan objek sama sekali tidak dapat dipilah-pilah. Seperti telah disebutkan sebelumnya, ‘kemanunggalan subjek dan objek pengetahuan’ adalah instansi (instance / mishdâq) paling sempurna dari ‘kehadiran objek pengetahuan pada subjek pengetahu’.
Saking validnya, pengetahuan ini merupakan sesuatu yang tidak bisa dianalisis dan diuraikan (dalam konsep-konsep), tidak seperti proposisi ‘aku adalah…(i am)’ atau ‘aku ada (i exist)’ yang tersusun dari dua konsep (aku + ada), karena ia mendahului konsep apapun.
Dengan demikian, pengertian ‘pengetahuan tentang diri sendiri’ ialah kesadaran yang bersifat intuitif ( وجدانيّة ), sederhana dan langsung tentang jiwa (atau ruh) kita sendiri. Pengetahuan dan kesadaran ini merupakan peri keadaan esensial jiwa.
Terhadap keraguan tentang akurasi pengetahuan hushûlî, Mohammad Taqî Meshbâh Yazdî mengakui bahwa sebelum bentuk dan kosep terbukti benar-benar sesuai dengan objek yang dipersepsi, kepastian akan kesahihan persepsi tidak akan pernah didapatkan. Tetapi, menurutnya, dalam hal objek atau sesuatu yang dipersepsi hadir tanpa perantaraan atau bahkan manunggal dengan eksistensi pelaku persepsi, kekeliruan tidaklah dapat dibayangkan. Artinya, pertanyaan apakah pengetahuan subjek telah sesuai dengan objek yang diketahui, tidaklah relevan karena dalam kasus ini subjek pengetahuan identik dengan objek yang diketahui.
Dengan paparan itu, Mohammad Taqî Meshbâh Yazdî ingin menjawab mengapa dan bagaimana sebagian pengetahuan hushuli mengalami kekeliruan. Umpamanya, ada orang merasa lapar dan menyangka bahwa dia memerlukan makanan, padahal selera makan itu sebetulnya tidak nyata dan dia tidak memerlukan makanan. Menurutnya, hal demikian terjadi lantaran rasa tertentu yang ditangkapnya melalui pengetahuan hudhûrî yang tidak mungkin keliru itu telah diikuti dengan tafsiran mental yang membandingkan rasa tersebut dengan beberapa rasa terdahulu yang diduga berasal dari kebutuhan pada makanan. Hanya saja, perbandingan itu ternyata tidak benar dan karenanya muncul kekeliruan yang bermula dari tafsiran mental atas penyebab rasa tersebut.
Meski mengganggap tidak mungkin salah, Mohammad Taqî Meshbâh Yazdî menganggap pengetahuan hudhûrî tidaklah seragam. Hal itu karena ia memperlakukan pengetahuan hudhûrî sebagai maujud.
Pengetahuan hudhûrî juga mempunyai tingkat kelemahan dan kedahsyatan (syiddah wa dhu`f) yang bervariasi. Orang sakit mempersepsi rasa sakitnya melalui pengetahuan (hudhûrî) melihat temannya dan mengalihkan perhatiannya pada si teman, maka persepsinya akan rasa sakit itu akan membuyar. Menurutnya, penyebab rendahnya derajat pengetahuan hudhûrî adalah kurangnya perhatian. Sebaliknya, dalam kesendirian, terutama di malam hari manakala tidak ada lagi objek yang dapat diperhatikannya, sakit itu akan terasa lebih dahsyat. Sebab dari kedahsyatan rasa sakit itu tiada lain daripada perhatiannya yang utuh.
Perbedaan derajat pengetahuan hudhûrî bisa berdampak pada tafsiran-tafsiran mental yang terkait dengannya. Umpamanya, meskipun sangat rendah, manusia selalu mengetahui hudhûrî tentang jatidirinya. Hanya saja, akibat rendahnya derajat pengetahuan hudhûrî tentang diri itu, orang sering membayangkan bahwa jatidirinya identik dengan tubuhnya. Ujung-ujungnya, ia akan menyimpulkan bahwa hakikat dirinya tak lebih dari tubuh dan gejala-gejala material yang membalutnya. Namun, seiring peningkatan derajat pengetahuan hudhuri dan penyempurnaan substansi dirinya, kekeliruan semacam itu berkurang bahkan tidak lagi terjadi.
Setiap manusia adalah entitas yang berakal. Sebagian yang berakal adalah manusia yang berpikir. Sebagian yang berpikir adalah manusia yang berpikir dengan sistem pikir (logika dalam pengertian umum) demi menyingkap atau mencapai kebenaran yang disebut "mengetahui".