MEMERIKSA KLAIM "ILMIAH" VERSI INFLUENCER

MEMERIKSA KLAIM "ILMIAH" VERSI INFLUENCER

(Bagian 1 : yang Ada, Nyata, Real dan Pasti Benar)

Kebenaran sering diucapkan, karena itulah muara semua klaim setiap individu manusia. "Benar" adalah kata sifat atau predikat (ejektif) yang disandangkan atas sesuatu. "Sesuatu" adalah apapun yang dipikirkan setiap manusia (atau yang tercetak dalam dirinya atau benaknya) saat berinteraksi dengan "selain dirinya".

"Selain dirinya", ditandai dengan ragam kata (meski bermakna sama), yaitu realitas, kenyataan, fakta, objek dan lainnya sesuai bahasa utama yang selalu digunakannya. "Realitas" atau kenyataan adalah kata untuk menandai semua yang ada. "Kebenaran" adalah kata olahan dari kata "benar" sebagai tanda bagi "ada".

"Ada" adalah kata dengan makna yang sama dalam benak setiap individu manusia ataukah kata dengan ragam makna sesuai pemahamannya? Inilah induk semua sengketa terbesar dalam sejarah umat manusia. Filsafat (metafisika) dan sains (fisika) memberikan dua jawaban berbeda.

Dalam masyarakat Indonesia terjadi kesalahpahaman dalam penggunaan kata serapan Arab "ilmu" yang menimbulkan kerancuan karena tidak ditetapkannya kata khusus untuk pengetahuan (knowledge) dan ditetapkannya dua kata "ilmu pengetahuan" untuk sains. Akibatnya kata "ilmiah" menjadi sengketa antara kelompok yang mengartikan ilmiah sebagai saintifik dan kelompok yang mengartikan "ilmiah" sebagai predikat umum bagi pengetahuan empiris (sains, induktif) juga pengetahuan rasional deduktif non-empiris.

Filsafat dalam era sains dihadirkan sebagai metode rasional yang menunjang sains guna mengungkap aspek abstrak ideal dan universal setiap objek fisik dan fenomena yang telah diuji coba secara empiris. Selanjutnya filsafat pun tak lagi identik dengan metafisika sebagai "universal knowledge" tapi hanya sebuah prolog abstrak bagi sebuah bidang ilmu sains natural (ilmu alam) dan sains sosial (ilmu sosial).

Pada masa Renaisans di Barat filsafat dipisahkan dari metafisika. Sejak saat itulah ia disebut filsafat modern. Filsafat modern resmi

menggantikan filsafat skolastik pada abad ke-17 hingga awal abad ke-20 di Eropa Barat dan Amerika Utara.

Setelah menjinakkan "agama" dan memasukkannya sebagai salah satu sarana penunjang sains bersama konvensi dan hukum-hukum positif, rezim sains pun mengakuisisi filsafat dengan membuang metafisika dan semua tema tentang ontos atau eksistensi abstrak. Sejak itulah filsafat dimutilasi menjadi ragam bidang elementer. Filsafat dengan metafisika hanya diajarkan sebagai bidang studi sejarah hidup para filsuf dan sekilas pandangan-pandangannya yang sudah dianggap tak relevan. Mempelajarinya pun dianggap sebagai sekadar wisata intelektual mengenali khazanah purba. Beberapa orang dicap filsuf karena mengerti sejarah filsafat.

Selanjutnya muncul secara bergantian sebagai anti tesanya aneka pandangan, aliran dan filsuf, dari Empirisisme (John Locke, Francis Bacon, Thomas Hobbes, David Hume dan George Berkeley), Positivisme (Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, John Stuart Mill dan Herbert Spencer, Eksistensialisme (Søren Kierkegaard, Fyodor Dostoevsky, Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche), Fenomenologi (Edmund Husserl, Edith Stein, Eugen Fink, Martin Heidegger, Max Scheler, Nicolai Hartmann, Roman Ingarden), Post-Strukturalisme (Michel Foucault, Jacques Derrida, Gilles Deleuze, Jean-François Lyotard, Roland Barthes, Jacques Lacan, Louis Althusser, Jean Baudrillard, Slavoj Žižek, Ernesto Laclau, Julia Kristeva, Chantal Mouffe, Judith Butler dan Hélène Cixous), hingga Teori Kritis atau Neo-Marxisme (Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm, György Lukacs, Antonio Gramsci dan Jürgen Habermas) dan lainnya.

Kini di dunia yang didominasi oleh sains, kata filsafat identik dengan gagasan-gagasan di atas. Objeknya adalah alam dan manusia. Tuhan dan spiritualitas (yang pada masa skolastik justru tema utama filsafat) tak lagi dianggap sebagai bagian filsafat. Ciri khasnya adalah empiris, positivistik, dan antroposentrik.

Karena kaum saintis (empiris, positivis) menganggap benda sebagai realitas sejati dan yang “ada” hanyalah materi, maka "ada" pun dalam bahasa umum ditetapkan sebagai kata untuk sesuatu yang bendawi dan inderawi. Makna ini mengakar dan menjadi bagian mindset bawah sadar. Karena objek yang terinderakan beragam, maka setiap objek terinderakan pun ditetapkan sebagai realitas tersendiri. Karena setiap objek terinderakan ditetapkan sebagai realitas-realitas yang berlainan, maka realitas ditetapkan beragam (plural). Karenanya, realitas sebagai sesuatu yang tunggal pun ditolak. Karenanya pula, realitas dan ada ditetapkan sebagai satu kata untuk ragam objek. Karena realitas dan ada ditetapkan untuk aneka objek terinderakan yang beragam, maka kata realitas dan ada ditetapkan sebagai kata dengan ragam makna.

Read more