MEMIHAK ABANGAN

MEMIHAK ABANGAN
Photo by Unsplash.com

Sejak dibangun jalan tol ditambah pandemi corona saya mulai sering melintasi darat bila melakukan perjalanan dan menjelajahi kota-kota pesisir yang dikuasai Nyi Roro Kidul ini. Salah satu kota terpenting di wilayah ini adalah Solo yang juga disebut Surakarta. Saat merangkai aksara-aksara ini saya sedang singgah di kota penghasil batik ini.

Surakarta dikenal sebagai salah satu inti kebudayaan Jawa karena secara tradisional merupakan salah satu pusat politik dan pengembangan tradisi Jawa. Kemakmuran wilayah ini sejak abad ke-19 mendorong berkembangnya berbagai literatur berbahasa Jawa, tarian, seni boga, busana, arsitektur, dan bermacam-macam ekspresi budaya lainnya. Orang mengetahui adanya "persaingan" kultural antara Surakarta dan Yogyakarta, sehingga melahirkan apa yang dikenal sebagai "Gaya Surakarta" dan "Gaya Yogyakarta" di bidang busana, gerak tarian, seni tatah kulit (wayang), pengolahan batik, gamelan, dan sebagainya.

Kota yang cukup padat ini juga dikenal karena kemajemukan keyakinan dan toleransi penduduknya. Keberagaman kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Surakarta, mulai dari masjid terbesar dan paling sakral yang terletak di bagian barat Alun-alun Utara Keraton Kasunanan, Surakarta, yaitu Masjid Agung Surakarta yang dibangun sekitar tahun 1763 atas prakarsa dari Sunan Pakubuwana III, Masjid Al Wustho Mangkunegaran, Masjid Laweyan yang merupakan masjid tertua di Surakarta[33], Gereja St. Petrus di Jl. Slamet Riyadi, Gereja St. Antonius Purbayan, hingga Tempat Ibadah Tri Dharma Tien Kok Sie, Vihara Am Po Kian, dan Sahasra Adhi Pura. Demikian dilaporkan wikipedia. Tapi yang menarik adalah posisinya sebagai "the holy land" kaum abangan.

Banyak orang beranggapan secara apriori bahwa abangan adalah sebutan bagi orang atau kelompok yang tidak beriman secara utuh dan tidak konsisten dalam melaksanakan syariat atau hukum agama. Disebutkan bahwa ia adalah sebutan untuk golongan penduduk Jawa Muslim yang mempraktikkan Islam dalam versi yang lebih sinkretis bila dibandingkan dengan golongan santri yang lebih ortodoks.(Muchtarom, Zaini. 1988. Santri dan Abangan di Jawa. Jakarta: Inis.).

Istilah ini, yang berasal dari kata bahasa Jawa yang berarti merah, pertama kali digunakakan oleh Clifford Geertz, tetapi saat ini maknanya telah bergeser. Abangan cenderung mengikuti sistem kepercayaan lokal yang disebut adat daripada hukum Islam murni (syariah). (Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarkat Jawa. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.)

Saya mencurigai identifikasi abangan sebagai kelompok yang menolak syariat sebagai perlawanan terhadap wahabisasi. Dalam sebuah artikel (Rumah Kitab) disebutkan, bahwa abangan adalah mereka yang menolak taat pada gerakan pemurnian Islam dan memilih kembali kepada Islam sebagai agama rakyat.

Abangan justru mempertahankan Islam yang esoteris dan mistik. Ini terlihat dari upacara-upacara yang dipelihara mereka. Salah satunya adalah slametan yang melambangkan persatuan mistik dan sosial dari orang-orang yang ikut serta dalam slametan itu. Slametan diadakan pada hampir setiap kesempatan yang mempunyai arti upacara bagi orang Jawa seperti kehamilan, khitan, kelahiran, perkawinan, kematian, maulid, panen, dan lebaran. Tujuan dari slametan adalah untuk mencari tujuan selamat dalam arti tidak terganggu oleh kesulitan alamiah, gangguan ghaib sehingga tidak menimbulkan penyakit dan kesusahan yang lain. (Ichtiar Baru van Hoeve, PT. (1993). Ensiklopedi Islam (edisi ke-Cet. 1). Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve. ISBN 9798276612. OCLC 30076493).

Salah satu tradisi yang dilestarikan kaum abangan di Solo, Jogja dan lainnya adalah Grebeg Suro. Suro berasal dari kata Asyura (10 Muharam) yang karena pada tanggal itu cucu Kanjeng Nabi Sayidina Husain (Kusen) dibantai bersama keluarga dan pengikutnya oleh raja tiran Yazid, nama Muharam pun disebut Suro, sebutan singkat Asyura.

Malam satu Suro merupakan malam yang amat sakral. Pada malam ini, masyarakat Jawa di Indonesia melakukan berbagai macam ritual tergantung dengan daerahnya masing-masing. Istana Mangkunegaran, sebagai salah satu pusat kebudayaan penerus tradisi Mataram, melakukan ritual pencucian pusaka, kirab pusaka, dan laku tirakat pada malam satu Sura. Ritual ini selama ratusan tahun selalu dilaksanakan oleh Kerajaan yang ada di Jawa, seperti di Surakarta secara turun temurun. Makna dari Ritual Malam 1 Suro ini ialah refleksi diri atau mengingat kembali kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat selama satu tahun yang berlalu.

“Pemurnian Islam” adalah jargon andalan kaum salafi dan wahabi dalam melakukan agresi sektarian yang menyasar upacaea mistik seperti tawasul, tahlil, salawat, maulid dan lainnya yang telah menjadi budaya dan tradisi Islam di Nusantara. Ini cukup menjadi bukti bahwa abangan adalah korban stigmatisasi dan penyesatan kaum wahabi yang berhasil memasuki Nusantara dan meraih hati sebagian kalangan santri dan priyai.

Sayangnya, nuansa keabangannya yang teduh dan eksotik kini mulai berkurang akibat berjamurnya relijiusitas yang tak ramah. Ironis.

Read more