Skip to main content

Hukum sebab akibat merupakan isu pertama yang menyibukkan nalar manusia di antara persoalan-persoalan filosofis, dulu dan sekarang, dan mendorong manusia untuk berpikir guna menguak misteri-misteri keberadaan. Bila pikiran manusia tidak mengenali konsep sebab dan akibat umum dan tidak tunduk pada hukum sebab-akibat, konsep (mengapa) tidak akan terjadi padanya?

“Mengapa” adalah dasar dari semua ilmu dan gagasan manusia, yang mendorongnya mencari akar dan hasil dari dunia ini dan berbagai kejadiannya.

Dengan kata lain, semua ilmu manusia adalah cerminan dari hukum kausalitas, dan jika hukum ini diambil dari manusia, maka ilmu-ilmu tersebut akan kehilangan semua isinya.

Demikian juga jika kita kehilangan hukum kausalitas, maka peradaban runtuh, dan karenanya ilmu pengetahuan dan filsafat yang berdiri di atasnya pun runtuh.

Di alam semesta ada sistem yang disebut sistem vertikal yang meniscayakan relasi antara sebab dan akibat. Artinya, kehendak Tuhan mengharuskan segala sesuatu terjadi secara berurutan, dan bahwa setiap sesuatu yang berada di depan dan di atas mendahului sesuatu yang di belakang dan di bawahnya. Kedahuluan dalam konteks ini adalah proses kemenjadian, bukan proses kewaktuan, karena waktu adalah salah satu akibat, bahkan adanya sesuatu yang dahulu dulu hadir merupakan sebab bagi sesuatu yang hadir setelahnya.

Tuhan menempati urutan teratas dalam list urutan keberadaan, sedangkan para malaikat yang juga disebut para adalah pelaksana perintah-perintah Tuhan yang masing-masing secara eksistensial menempati aneka peringkat yang berurutan sesuai tugas dan fungsi masing-masing. Allah berfirman, “Dan tidak satu pun di antara kami (malaikat) melainkan masing-masing mempunyai kedudukan tertentu.” (QS. Al-Shaffat : 164).

Meski ciptaan, Allah kadang menyebut para malaikat sebagai sebab pengelolaan alam sebagaimana dalam ayat 5 surah As-Sajdah “Dia mengatur segala urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu.” Allah juga menegaskan hal ini dalam firmanNya “dan (malaikat-malaikat) yang mengatur urusan (dunia). (QS. An-Nazi’at : 6).

Ada sistem lain di alam semesta, yang merupakan sistem horisontal, yang menetapkan bahwa keberadaan fenomena tertentu tunduk pada serangkaian kondisi material, dan itu tidak tunggal dan terpisah dari peristiwa-peristiwa lainnya.

Kemaha-bijaksanaan Tuhan hanya tampak jika seseorang melihat sesuatu dengan apa yang terkait dengannya, bukan jika dia melihatnya secara personal dan mandiri.

Bila kita melihat orang-orang mengangkat karpet, dan kemudian melihat seorang dokter merawat luka bakar pasien, kita tidak akan menemukan – pada pandangan pertama – hubungan antara kedua aksi ini, tetapi jika kita mencermati dengan seksama, kita akan menemukan, untuk contoh, bahwa api adalah penyebab terbakarnya karpet dan pasien yang luka bakar, maka bisa dipastikan dua aksi ini berasal dari satu sumber.

Pengamatan yang cermat terhadap alam semesta meyakinkan insan rasional bahwa sistem horisontal berlaku di alam semesta, karena semua peristiwa berasal pada penyebab fundamental. Karena keniscayaan berlaku antara sebab dan akibat, maka keniscayaan juga berlaku antara semua peristiwa.

Atas dasar itu, meminta bantuan kepada selain Tuhan bukanlah syirik bila didasarkan pada keyakinan bahwa bantuan itu dalam kausalitas vertikal yang bermula dari Tuhan.

Atas dasar itu pula, melakukan ritual tertentu demi memindahkan awan dan menunda hujan bukanlah syirik bila disertai keyakinan bahwa perpindahan awan yang mengakibatkan udara cerah adalah usaha manusia yang tidak terlepas dari kausalitas vertikal yang bermula dari Tuhan.