MEMPERINGATI ASYURA TANPA KHURAFAT

MEMPERINGATI ASYURA TANPA KHURAFAT
Photo by Unsplash.com

MEMPERINGATI ASYURA TANPA KHURAFAT

Asyura menjadi sumber spirit perlawanan terhadap kezaliman karena proses naturalnya. Al-Husain menjadi ikon perjuangan keadilan karena humanitasnya. Ia bangkit dengan spektrum deritanya, tanpa backup langit.

Tuhan menghadirkan Karbala sebagai peristiwa natural yang tak menggunting mata rantai kausalitas kebumiannya agar diduplikasi dan agar prestasi itu apkikatif dan terjangkau oleh nalar setiap manusia, apapun keyakinannya.

Terdapat sejumlah narasi dan riwayat seputar Karbala yang berisi peristiwa2 supranatural. Tanpa bermaksud meremehkannya, narasi epos, Karbala dan heroisme Al-Husain justru terlihat dan menggetarkan bila penganiayaan super biadab itu nyata terjadi karena Al-Husain berperan sebagai sosok manusia dengan semua aspek kebumiannya.

Setiap peristiwa pada 10 Muharam di Karbala terjadi secara bumi dan insani. Kegigihan Al-Husain dan pasukannya dalam laga tak seimbang itu juga berlangsung dalam koridor hukum alam yang wajar. Justru karena keterbatasan insani dan faktor2 natural yang menyertai setiap adegan di dalamnya, Asyura menggambarkan kepahlawanan prima dan pengorbanan agung Al-Husain bersama keluarga dan para pengikutnya.

Genosida Karbala sudah memecahkan rekor duka dan memuncaki epos dan gelora sepanjang masa. Karenanya, kisah kesedihan dan perlawanannya tak perlu dilebihkan dan diimaginalkan.

Memang, Al-Husain, sebagai imam suci tentu memiliki dimensi langit karena fungsi sakralnya sebagai pengawal wahyu. Namun, Karbala adalah sebuah peristiwa kemanusiaan sebagai momen sempurna sebuah pengorbanan berdimensi bumi yang lahir dari spirit langit. Siapapun yang datang mengais spirit revolusi agung ini demi menegakkan keadilan. Itulah universalitas Asyura.

Yang perlu diperhatikan juga, revolusi Asyura tidak hanya berwarna hitam dengan pilu dan duka, namun juga berwarna merah dengan gelora dan gelegar perlawanan.

Karenanya, pembacaan narasi tragedi Asyura (maqtal) dan pembacaan kidung ratapan (ma'tam) harus bebas dari hiperbola yang ganjil, dramatisasi unreal dan penambahan peristiwa-peristiwa fiktif serta penuturan cerita yang tidak logis.

Tanpa hiperbola, tragedi Asyura sudah menjadi tragedi kemanusiaan paling abadi dan agung.

Read more