Skip to main content

Memperingati Wafat Nabi

By August 31, 20113 Comments


Memperingati acara haul itu biasa, tapi yang dilakukan sebuah lembaga Islam bernama Islamic Cultural Center Sabtu 17 Maret lalu luar biasa. Lebih dari 1000, orang pria dan wanita memadati aula dan halaman lembaga Islam yang bertempat di Buncit Raya itu dalam rangka memperingati wafat (haul) Nabi Muhammad saw.

Di Indoensia peringatan haul selalu menjadi tradisi dan simbol relejiusitas di kalangan masyarakat santri sejak dakwah Wali Songo. Namun yang diperingati adalah ulama atau kakek dan ayah atas inisatif keluarga. Karena itulah, acara haul Nabi Muhammad terasa aneh.
Prof. Dr. KH. Umar Shihab, Ketua MUI Pusat, sebagai pembicara pertama dalam acara itu, berbicara tentang pentingnya menjaga persatuan umat Islam dengan mengabaikan isu-isu perbedaan yang bersifat elementer. Beliau juga mengingatkan akan bahaya ekstrimitas dalam setiap kelompok Muslim dari mazhab manapun.
Mehdi Hadavi, yang menjadi pembicara kedua, menimpali ceramah Umar Shihab tentang persatuan umat Islam. Menurutnya, tidak seorang Muslim pun, dari kelompok manapun, yang berhak mencederai sesama Muslim apalagi membunuhnya. “Aksi-aksi pembunuhan yang menewaskan dan melukai rakyat sipil di Irak yang mengatsnamakan kelompok atau mazhab tidak terlepas dari kepentingan Amerika dan Isarel.”
Ternyata tidak ada kata sepakat tentang tanggal wafat Nabi Muhammad. Sebagian besar umat Islam di Tanah Air hanya memperingati kelahirannya karena beranggapan bahwa Nabi termulia itu lahir dan wafat pada tanggal yang sama, 12 Rabiul Awal.
Lebih penting manakah antara memperingati kelahiran atau wafat Nabi? Apakah kita hanya perlu mensyukri kelahirannya, dan tidak mengenang detik-detik terakhir dalam hidupnya? Tidakkah wafat manusia paling sempurna ini perlu dikenang sambil merenungi pesan-pesannya yang pasti sangat monumental? Adakah persitiwa-peristiwa penting menjelang dan sesudah wafatnya? Pertanyaan-pertanyaan semacam ini pasti muncul di benak setiap Muslim yang kritis dan ‘melek sejarah’.
Sejarah mencatat, dalam perjalanan pulang dari haji terakhir, dikenal dengan Haji Wada’ (Haji perpisahan), Nabi memberikan sinyal-sinyal perpisahan melalui khotbah dan serangkai pernyataan yang amat memilukan. Para sejarawan tidak hanya menyebut nama tempat upacara perpisahan yang terletak antara Mekah dan Madinah itu, namun merincikan jumlah peserta yang hadir saat itu.
Sesampai di Madinah pun, Nabi yang mulai terlihat kurang sehat, masih harus memikirkan umat dan negara yang dibangunnya. Sepak terjang dan provokasi negeri jiran di sebelah selatan yang dipimpin oleh Heraclitus membuatnya harus mengabaikan rasa sakit dan penat. Lelaki yang bernama Ahamd di langit ini memberikan sebuah instruksi kepada setiap semua lelaki yang sehat jasmani agar bersiaga perang di bawah komando Usamah bin Zaid. Keseriusan ini menunjukkan betapa Nabi, yang lemah karena sakit, masih menomerduakan dirinya demi kepentingan umat dan demi tanggungjawabnya.Ia harus keluar dari rumah sembari mengenakan selimut dan berseru agar setiap orang keluar dari Madinah karena kerajaan Romawi telah mengerahkan brigade pasukan kavelri untuk melakukan pembersihan terhadap warga yang memeluk Islam dalam wilayah kekuasaannya, termasuk gubernur Syam, Farwah bin Amr al-Jazami.
Sejarah menyaksiakan, teriakan parau Nabi teragung itu bak gayung tak bersambut. Pasukan yang sudah bergerak meninggalkan Madinah itu, tiba-tiba bubar. Isu tentang ‘kematian Nabi’ telah menjadi alasan aksi ‘mogok’ itu. Sampai-sampai, sang Komandan, Usamah bin Zaid, yang masih muda, juga ikut pulang ke Madinah.
Sejarah juga mencatat bahwa saat terbujur di atas ranjang, beliau meminta secarik kertas dan setangkai pena sebagai konfirmasi akhir atas pesan-pesan yang berulang telah disampaikannya terutama di Hajatul-wada’. Namun, apa hendak dikata, bising dan desak-desakan pengunjung yang membesuk di rumah kecil itu membuat suaranya seakan tertelan dan lenyap.
Pesannya, “Umatku, umatku umatku…! Janganlah berbalik arah! Jangan letakkan pedang di atas leher sesamu! ‘ semestinya didengungkan terus menerus agar umat Islam tidak menari dengan genderang musuh dan tidak merusak citra Islam dengan ekstrimitas, intoleransi dan fanatisme. Karena itulah, meperingati wafat Nabi, meski belum mentardisi, bukanlah sesuatu yang tidak perlu diselenggarakan.
Mungkin sudah saatnya umat Islam memasukkan agenda kesedihan dan duka dalam kalender hari besar, selain agenda riang dan kegembiraan seperti Maulid dan lainnya. Bukankah kita dianjurkan oleh Allah untuk lebih banyak menangis dan sedikit tertawa?