Skip to main content

Mungkin tak ada orang yang sengaja menghina diri sendiri. Keyakinan adalah bagian dari diri yang harus dihormati. Sebagian orang menghina diri sendiri secara tidak langsung dengan mengolok-olok keyakinan sendiri.

Meski mungkin tak ada orang yang menghina keyakinan sendiri, tapi sebagian orang menghina keyakinan secara tidak langsung dengan mencemooh orang-orang sekeyakinannya karena alasan-alasan elementer, perbedaan aliran mazhab dalam satu agama, perbedaan metode interpretasi dalam satu aliran, bahkan perbedaan dalam afiliasi politik yang selalu berubah.

Tanpa atau dengan sadar sikap demikian memberi “restu” kepada para pembenci untuk makin leluasa menghina keyakinannya.

Penghinaan tidak ditentukan oleh maksud baik yang tersimpan dalam benak, karena tentu saja penganut tak bermaksud menghina keyakinan anutannya sendiri, tapi penghinaan ditentukan oleh perbuatan dan perkataan yang terucap atau tertulis terhadap sebuah keyakinan oleh penganutnya dan bukan penganutnya.

Penghinaan terhadap keyakinan sendiri kerap dilakukan oleh sebagian orang yang karena krisis episteme mengira itu sebagai cara memperkenalkan diri sebagai moderat, toleran, kritis dan cerdas.

Menganut sebuah keyakinan berupa agama dan mazhab secara epistemologis adalah mengafirmasinya sebagai pilihan keyakinan yang meniscayakan komitmen, kepatuhan dan penghormatan kepada apapun yang terkait dengannya secara esensial maupun formal (simbolik) meski tidak melaksanakan ajarannya secara menyeluruh.

Mengaku menganut sebuah keyakinan juga mengolok-oloknya adalah cermin inferioritas mental dan kepandiran yang lebih buruk dari penghinaan dan penghujatan yang dilakukan secara sengaja oleh pembencinya.

Tak jauh berbeda dengan pencemooh keyakinan sendiri adalah mengolok-olok orang-orang sekeyakinan yang dengan bekal secuil pengalaman personal negatif dengan orang sekeyakinan atau fakta partikular dalam sebuah peristiwa tertentu melakukan stigmatisasi general seraya memposisikan diri sendiri sebagai juri etika di luar.

Rekan sekeyakinan berkarakter toxic tak hanya tak berguna sebagai elemen penguat bagi sekeyakinan lainnya, tapi justru menjadi elemen yang lebih destruktif dari yang tak sekeyakinan bahkan para pembenci keyakinan.

Sebagian orang terkesan sengaja mencemooh agama sendiri dan menghina seagamanya demi memburu sebanyak engagement dalam arena interaksi digital di pelbagai platform media sosial yang mengutamakan kehebohan dan kontroversi sebagai modus mengeruk keuntungan moneter. Ketika dipersoalkan dan mendapatkan respon keras, para penikmat pujian ini memasang wajah melas seraya mengaku “kelepasan” dan cepat-cepat meminta maaf.

Menghina keyakinan sendiri bukan moderasi. Mencemooh sekeyakinan sendiri bukan toleransi.