MENEGAKKAN ISLAM DALAM MASYARAKAT HETEROGEN
Hari ini mayoritas rakyat, berkat terbukanya akses informasi di era internet, menerima Pancasila secara luas sebagai asas negara dan bangsa. Namun demikian, di masa awal kelahirannya, Pancasila ternyata tak langsung disepakati dan diterima secara bulat oleh beragam kelompok masyarakat. Bahkan belakangan ini, kendati telah menjadi konsensus faktual, esensi Pancasila sebagai falsafah, ideologi, atau asas negara masih ramai diperdebatkan banyak pihak.
Sebagai organisasi yang didirikan oleh para ulama pejuang, tentu Nahdhatul Ulama (NU) yang saat itu menjadi bagian utama Masyumi mendukung Piagam Jakarta yang menekankan pentingnya penegakan Syariat Islam.
Dalam perjalanannya, setapak demi setapak, NU memulai kiprahnya di ranah politik. Keterlibatan NU di ranah politik (kekuasaan) seperti sekarang, berawal dari MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia). Namun, eksistensi MIAI tidak berlangsung lama. Pada Oktober 1943, MIAI akhirnya membubarkan diri dan digantikan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada awalnya, Masyumi merupakan organisasi non politik. Namun, setelah Indonesia merdeka, Masyumi ditahbis menjadi partai politik, dan memutuskan NU sebagai tulang punggungnya.
Di kubu Islam, Masyumi sebagai partai Islam terbesar yang salah satu anasirnya adalah NU, secara terang-terangan memperjuangkan ditegakkannya syariat Islam sebagai asas negara dengan mendukung Piagam Jakarta.
Namun, seiring perkembangan sejarah, akibat menolak tuntutan untuk mengubah status partai menjadi “partai federasi” serta merasa tidak terakomodasi secara proporsional (bukan dikarenakan menentang cita-cita penegakkan Syariat Islam), NU akhirnya keluar dari Masyumi dan mendirikan partai NU.
Pemisahan diri dari Masyumi pada 1952 dan dibentuknya Partai NU menjadikan NU untuk pertama kalinya terjun langsung ke ranah politik praktis. Dalam pemilu 1955, Partai NU terbilang cukup berhasil karena meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin, Partai NU dikenal sebagai pendukung Soekarno, dan bergabung dalam NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Komposisi Nasakom terdiri dari kalangan nasionalis yang diwakili Partai Nasional Indonesia (PNI), Murba (Musyawarah Rakyat Banyak), dan lain-lain; kalangan agama yang diwakili Partai NU, Masyumi, Partai Katolik, Parkindo (Partai Kristen Indonesia), dan lain-lain; dan kalangan komunis yang diwakili Partai Komunis Indonesia (PKI).
Memasuki era berkuasanya Orde Baru, NU bergabung dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada 5 Januari 1973 atas desakan rezim Suharto. Selama bergabung dalam PPP itulah, NU ikut pemilu 1977 dan 1982. Namun, dalam muktamar NU di Situbondo, NU akhirnya menyatakan diri untuk ‘Kembali ke Khittah 1926’ yaitu tidak lagi berpolitik praktis dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Inilah revolusi pemikiran keagamaan dan politik yang diprakarsai Kyai Ahmad Siddiq yang kemudian terpilih sebagai Rais Syuriah NU. Muktamar itu juga memilih dan menetapkan mendiang Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagai ketua umum PBNU.
Maka dari itu, NU menjadi ormas keislaman pertama yang menerima Pancasila sebagai asas organisasi. Bahkan penerimaan itu dideklarasikan sebelum UU Partai Politik dan Organisasi Kemasyarakatan diumumkan resmi oleh penguasa.
NU juga merumuskan serangkaian argumen keislaman untuk menunjukkan bahwa Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Rangkaian argumen ini kemudian diadopsi oleh Departemen Agama serta dibakukan dalam buku Pedoman Pelaksanaan P4 bagi umat Islam, untuk dijadikan model bagi ormas-ormas keislaman lainnya. Di antara argumen yang diandalkan, misalnya, anekdot yang diungkapkan Kiai Achmad Siddiq, “Ibarat makanan, Pancasila sudah dikunyah dan ditelan sekian lama, kok baru sekarang dibahas halal-haramnya?” Argumen lain yang lebih serius, misalnya, berasal dari mendiang Gus Dur yang menyatakan bahwa fikih tidak hanya membagi dunia dalam dua kawasan: Dar al-Islam (negeri Islam) dan Dar al-Harb (negeri perang). Ada alternatif ketiga, yakni Dar as-Shulh atau negeri tempat umat Islam dapat hidup damai dan menjalankan ajaran Islam meski negeri itu tak diatur dengan hukum Islam. Negara Pancasila adalah contoh dari Dar as-Shulh menurut argumen ini.
[Bahkan] Dar al-Islam atau Dar al-Harb dalam konteks sekarang (menurut NU–pen.) sudah tidak ada. Pasalnya, dikotomi Dar al-Islam dan Dar al-Harb seperti yang ditemukan dalam kitab-kitab fikih dibahas lantaran di masa lalu, wilayah kekuasaan terbagi ke dalam wilayah Islam yang dikenal dengan kekhilafahan dan wilayah Non-Islam. Sementara, lanjutnya, dalam konsep modern yang terjadi hari ini, disparitas keduanya sudah tidak ada bentuknya pasca munculnya gagasan negara kebangsaan (nation-state). (Sumber: Indonesia bukan Negara Darul-harb, NU online)
Revolusi pemikiran keagamaan NU berlanjut di bawah pengaruh Gus Dur yang berhasil secara gemilang menjadikan NU sebagai ikon Islam moderat yang nasionalis, meski suara-suara penentangan dari dalam masih kerap terdengar.
Bila dicermati lebih jauh, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU dalam Muktamar Situbondo lebih bersifat kompromistis. Kecenderungan ini dapat dilihat dari diajukannya ide Dar Assulh yang merupakan justifikasi yurisprudensial dalam fikih siyasah sebagai jalan tengah di antara Dar al-Harb dan Dar al-Islam.
Langkah transformatif ini juga dilakukan Muhammadiyah yang menetapkan asas Dar al-Ahd wa asy-Syahadah, yang mirip Dar ash-Shulh-nya NU, sebagai basis yurisprudensial bagi keabsahan teologis negara Pancasila.
Dar al-Ahd dan Dar asy-Syahadah merupakan elaborasi konseptual antara doktrin Siyar–hukum perang dan hubungan internasional dalam tradisi Islam–dan Pancasila. Tujuannya untuk memberi pedoman kepada para aktivis Muhammadiyah ihwal hubungan negara dan organisasi, sebagai fondasi pertahanan ideologis, alat harmonisasi politik, serta manifestasi intelektual dan politik yang menekankan pentingnya nasionalisme.
Konsep ini diyakini telah dipraktikkan sejak masa Rasulullah saw yang dikenal dengan perjanjian Hudaibiyah. Traktat itu merupakan perjanjian damai antara umat Islam dan Bani Quraisy pada 628 M.
Melalui Mukatamar ke-47 di Makassar, Sulawesi Selatan, Muhammadiyah menyepakati bahwa Indonesia tidak cukup hanya sebagai Dar al-Ahd (negara konsensual), tapi juga harus menjadi Dar asy-Syahadah (negara persaksian).
Sejarah seputar dinamika pemikiran yang terjadi dalam masyarakat Muslim yang direpresentasi NU dan Muhammadiyah mengkonfirmasi fakta bahwa nyaris seluruh umat sepakat, Islam adalah ajaran yang mengurusi ranah vertikal (hablun minallah) dan horisontal (hablun minannas). Namun, untuk menerapkan Islam dalam beberapa bidang horisontal memerlukan sulthah, daulah, atau hukumah. Karena itu, politik merupakan bagian integral dari agama. Namun, aktualisasinya memerlukan sejumlah syarat niscaya, yang bila tidak terpenuhi, maka hukum tsanawi berlaku.
Pandangan primer tentang Islam sebagai sistem yang meliputi aspek sakral dan profan, yang diusung mazhab Sunni--yang direpresentasi NU dan Muhammadiyah--juga dianut umat Muslim Syiah.
Secara primer, kekuasaan atau pemerintahan dapat dibagi dalam dua kategori; a) pemerintahan Islam yang dikelola dan dipimpin figur yang ditunjuk sebagai pemegang sebagian kuasa-Nya; b) Pemerintah non-Islam yang tidak dipimpin figur yang ditunjuk-Nya.
Pemerintahan non-Islam sendiri dapat dibagi dalam dua bentuk; a) pemerintahan non-Islam yang diakui Islam karena dibangun di atas kontrak sosial; b) pemerintahan non-Islam yang ditolak Islam karena bertentangan dengan prinsip Islam dan keadilan.
Sementara itu, emerintahan Islam juga dapat diklasifikasi dalam dua kategori; a) pemerintahan sebagai manifestasi kekuasaan Allah yang didelegasikan kepada para figur suci pilihan-Nya; b) pemerintahan yang dibangun berdasar kesepakatan selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Pemerintahan Islam sejatinya merupakan manifestasi kekuasaan Allah yang sebagiannya diberikan kepada para figur yang ditunjuk-Nya langsung, seperti para nabi dan washi. Pemerintahan ini juga tak berlaku bila tak memenuhi syarat akseptabilitas (asas penerimaan rakyat).
Pemerintahan non-Islam tidak bermakna vis-a-vis Islam. Sebab, di satu sisi, suatu pemerintahan bisa disebut Islami bukan hanya ditetapkan oleh Islam secara eksplisit melainkan juga dianggap tidak bertengan dengan Islam.
Pemerintahan Islam
Dalam pandangan tauhid yang disaripatikan dari ajaran Ahlulbait, kekuasaan atau wewenang merupakan hak mutlak Allah. Manusia, siapapun, tak punya kuasa secara inheren atas dirinya, apalagi terhadap selain dirinya. Itulah makna hakiki pemerintah atau pihak yang otoritatif mengeluarkan dan memberikan perintah serta ketentuan tentang apapun kepada siapapun.
Pemerintahan nabi dan washi yang diberikan kepada faqih yang memenuhi syarat hanya efektif bila rakyat menerimanya. Dengan kata lain, otoritas memberlakukan hukum agama hanya efektif berdasar penerimaan masyarakat. Tanpa itu, selain nabi, washi, dan faqih, siapapun tak berhak memberlakukan hukum agama. Penerimaan masyarakat melalui mekanisme yang logis merupakan syarat mutlak efektivitas pemerintahan Islam. Artinya, bila masyarakat menolak atau penerimaannya tidak mencapai prosentase terbesar karena keragaman keyakinan masyarakat atau lainnya, maka pilihan logis alternatif adalah pemerintahan non-Islam yang tidak bertentangan dengan Islam dan legalitasnya berdiri diatas kontrak sosial. Itulah bentuk pemerintahan konsensual dan kontraktual.
Pemerintahan Konsensual
Indonesia yang penduduknya mejemuk secara keagamaan, kesukuan, serta kebudayaan, dus adanya konsensus historis yang mendasari pendiriannya, merupakan fakta sekaligus karunia yang agung bagi umat Islam.
Sejak terbentuk sebagai negara formal hingga hari ini, proses politik di Indonesia senantiasa berbasiskan musyawarah sebagai salah satu ejawantah dari butir Pancasila. Maka, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bukanlah sebentuk pemerintahan Islam. Kendati demikian, Islam mengakomodasi sistem yang ada dikarenakan kontrak sosial yang mendasarinya.
Kontrak--yang dalam khazanah Islam disebut aqd--(sosial) tersebut merupakan prinsip rasional dan normatif keislaman yang mengikat pihak-pihak yang menerimanya. Komitmen dan konsistensi dalam mematuhi kontrak (sosial) inilah yang merupakan aplikasi dari nilai-nilai Islam.
Manakala negara yang dibangun berdasarkan konsensus dan konstitusi yang menjadi asas pengelolaan individu-individu dalam masyarakat itu disahkan, maka tak ada lagi alasan yang dapat dibenarkan untuk merusak atau bahkan menghancurkannya.
Alasan mendirikan apa yang disebut dengan "negara Islam" demi menegakkan hukum agama justru melawan akad yang jelas-jelas menjadi bagian dari ajaran Islam. Ini lantaran pemerintahan Islam merupakan hak eksklusif nabi dan manusia-manusia suci yang ditunjuk Allah, yang hanya efektif diberlakukan bila mayoritas masyarakat menerima atau menghendakinya.
Masyarakat Islam
Mengingat fakta bahwa masyarakat Indonesia menganut aneka agama (ditambah lagi dengan beragamnya kelompok, mazhab, dan perspektif dalam masing-masing agama), maka ide "satu agama" tidak dapat dijadikan dasar bernegara dan berbangsa. Memaksakan ide semacam itu sama saja dengan memaksa negara dan bangsa ini bubar jalan sekaligus menyia-siakan karunia berupa mozaik nan indah ini.
Mengamini fakta keragaman sama sekali tidak bertentangan dengan sikap meyakini agama sebagai sistem nilai. Agama Islam dihadirkan untuk menata dan membangun masyarakat Islam, bukan negara Islam. Apalah arti “negara Islam” bila tidak dihuni masyarakat Islam.
Daripada berfantasi untuk menuntut dan mendirikan negara berdasarkan ide "satu agama", lebih baik energi dan semangat itu disalurkan untuk menjelmakan prilaku baik dan sikap toleran di kehidupan nyata, yang boleh jadi akan memikat pihak lain untuk meniru dan meneladaninya.
Lebih realistis dan urgen dari mendirikan negara Islam adalah membangun masyarakat Islam, dalam arti menegakkan nilai-nilai Islam sejak dalam pikiran, mental, dan tindakan. Tanpa itu, “negara agama” hanyalah sebentuk rezim despotik yang dikuasai segelintir fanatikus korup yang menegakkan dominasi dan monopolinya atas nama Tuhan.
Negara Islam
Tak sedikit individu Muslim, mulai dari yang malu-malu hingga yang vulgar, memperlihatkan hasrat hingga ambisinya terhadap berdirinya negara Islam. Faktor yang mendorongnya tentu saja beragam. Baik dikarenakan kecintaan terhadap Islam namun minim atau bahkan sesat paham, menjadi korban intrik para pemburu kuasa yang mencipta kegaduhan atau konflik beraroma keagamaan demi mengegolkan agenda politik kepentingan sekularnya, atau terprovokasi oleh jargon dan kampanye radikalisme.
Situasinya tambah runyam saat sebagian mereka kurang memiliki akses terhadap seluk-beluk pemahaman Islam juga negara lantaran keterbatasan sarana hingga keengganan untuk menjelajahi khasanah Islam di luar sangkar kelompok dan tradisinya (keengganan itu umumnya diakibatkan terlanjur menyangkal hingga memvonis in absentia "Islam yang lain" sebagai "sesat", "bukan Islam", dan sejenisnya).
Perlu digarisbawahi pula bahwa Negara Islam berbeda secara esensial dengan Pemerintahan Islam. Rata-rata kalangan yang terobsesi dengan pendirian Negara Islam ternyata tak punya gambaran yang jelas tentang Pemerintahan Islam. Padahal suatu negara disebut "Negara Islam" dikarenakan mayoritas penduduknya beragama Islam, bukan lantaran niscaya memberlakukan syariat Islam.
Mereka menganggap pendirian negara berdasar hukum Islam sebagai wajib tanpa memperhatikan akseptabilitas yang menjadi syarat efektif bagi Pemerintahan Islam. Bahkan mereka juga menganggap Islam sebagai agama hanya mungkin ditegakkan sebagai sistem negara dengan memberangus hak dan kehidupan pihak yang berbeda keyakinan.
Jelas, anggapan menegasi keberadaan kelompok agama lain sebagai syarat mendirikan apa yang diyakini sebagai negara, tak hanya tidak realistis, tapi juga fatal. Sebab, pada faktanya, sistem kenegaraan yang legitim dan diterima khalayak luas adalah demokrasi yang menjadikan suara terbanyak sebagai faktor penentu. Nah, mengingat pada hari ini lembaga legislatif sebagai salah satu penyangga kehidupan berdemokrasi politik di negeri ini didominasi umat Islam, tentunya kekuatiran akan terkendalanya hasrat mendirikan "Negara Islam" dikarenakan keberadaan kelompok keyakinan lain yang faktanya minoritas, menjadi tidak beralasan.
Selain itu, ada pula anggapan reduksionistik bahwa Islam itu universal dan lintas batas geografis namun juga harus dikapling dalam sepetak "negara" yang entah bagaimana, diklaim sebagai Negara Islam. Ini jelas sebentuk “kawin paksa”.
Di sisi lain, mereka juga menganggap khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam di muka bumi. Padahal, khilafah sebagai "konteks" (pengandaian hingga kedudukan) yang dipahami secara niscaya dari "teks" pengangkatan khalifah dalam ayat suci merupakan "sistem di langit" (yang diduduki para khalifah Allah semacam para nabi, rasul, imam, wali, dan lain-lain) dan bukan "sistem di bumi", sehingga sepenuhnya merupakan "urusan Tuhan" dan bukan urusan manusia. Adapun manifestasi khilafah berupa kenabian, kerasulan, dan kepemimpinan itulah "sistem di bumi".
Kalau pun khilafah dianggap sebagai sistem pemerintahan di bumi untuk suksesi kenabian, maka pertanyaannya, bukankah kenabian itu sendiri merupakan sistem pemerintahan Islam di muka bumi? Bukankah al-Quran hanya menetapkan berakhirnya pengutusan para nabi dan bukan menetapkan berakhirnya kenabian (nubuwwah) sebagai sistem?
Selain itu, khilafah yang diklaim sebagai sistem pemerintahan pasca kenabian tidak pernah utuh, kompak, dan definitif sebagai suatu sistem pemerintahan. Sejarah menjadi saksi, mekanisme pemilihan hingga pengangkatan seorang khalifah berbeda-beda dari satu khalifah ke khalifah berikutnya.
Terkait dengan "Republik Islam", mereka beranggapan bawa Republik Islam sama dengan “Negara Islam” berdasar klaim khilafah. Padahal frasa “republik” sudah mengandaikan akseptabilitas publik yang bersanding dengan legitimasi vertikal yang dipegang nabi, washi dan faqih dalam situasi darurat (kegaiban panjang). Sementara "negara" per definisinya justru "melampaui preferensi individu masyarakat (untuk menolak/menerima)" sehingga berciri memaksa.
Lebih jauh, mereka juga menganggap "Negara Islam" itu sekadar daratan yang hanya dihuni umat Islam. Padahal, di masa Nabi sendiri, "teritori Islam" didiami pula oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang juga menikmat hak setara dan diperlakukan sama sebagai warga pemerintahan Islam, kecuali oknum yang terbukti melakukan makar.
Terakhir, mereka mengira "Negara Islam" sebagai negara yang menerapkan syariat Islam. Padahal faktanya, Indonesia, Malaysia, bahkan seluruh anggota OKI disebut "Negara Islam", meski tidak menerapkan "syariat Islam" yang mereka pahami secara banal.
Agama dan Fakta Indonesia
Agama yang didefinisikan dari perilaku faktual para penganutnya tidak hanya bukan solusi bagi masalah kemasyarakatan, melainkan malah sumber masalah itu sendiri. Salah satu penyebabnya adalah tumpang tindih otoritas agama yang mengikat komunitas atau umatnya dan otoritas negara yang mestinya mengikat semua warganya yang menganut aneka agama.
Kontrak sosial dan kesepakatan rasional kiranya lebih relevan dan realistis. Negara dan undang-undang harus fokus pada status kewargaan, bukan status keagamaan, misalnya. Seyogianya pula negara menegakkan dirinya tidak menggunakan idiom agama tertentu agar tidak memberi celah bagi kalangan agama tertentu untuk mendominasi dan memonopoli kehidupan negara. Sebaliknya justru para pemuka agama harus merumuskan penafsiran yang sesuai dengan produk undang-undang (yang notabene merupakan produk syariat sekaligus sebagai modus bersyariat). Dalam hal keagamaan, sebaiknya masing-masing komunitas penganut agama menyelesaikan problem internalnya sesuai afiliasi mazhabnya dalam koridor konstitusi agar eksekusi hingga realisasi penyelesaian masalah itu tidak bertabrakan dengan kepentingan dan kemaslahatan bersama sebagai warga negara. Sehinga, tak perlu lagi, misalnya, terjadi dilema peradilan akibat adanya dua lembaga peradilan (agama dan sipil) dalam instusi negara yang dihuni masyarakat majemuk.
Negara tentu saja harus terbuka dan membantu warganya yang menganut agama tertentu untuk melakukan penertiban internal sesuai visi dan misi konstitusional, misalnya mensertifikasi penceramah agama berdasarkan asas kompetensi demi mengurangi kebisingan provokasi kebencian atas nama agama sekaligus menyetop jatuhnya korban dogmatisasi yang dikampanyekan kelompok intoleran yang, celakanya, sudah berabad-abad lamanya dianggap sebagai ajaran agama.
Alhasil, pemisahan agama dan negara bukanlah sebuah konsepsi apalagi ide normatif sebagaimana yang dibayangkan sekularisme. Pemisahan dimaksud lebih sebagai "implikasi" semata dari fakta kemajemukan masyarakat. Karenanya, itu tidak serta merta mereduksi agama sekadar ajaran privat dan vertikal. Agama selamanya tetap pada definisi, posisi, dan maknanya yang universal serta senatiasa berada dalam matriks hubungan vertikal maupun horisontal. Intinya, pandangan de facto itu merupakan konsekuensi logis sekaligus pilihan paling realistis dalam mengapresiasi hubungan agama dengan masyarakat yang majemuk dalam figura kenegaraan.
Akhirnya, Indonesia dengan Pancasilanya sebagai asas berwarga dan bernegara sama sekali tidak bertentangan dengan Islam. Dan mengingat negara kesatuan ini dibangun dari konsensus serta kontrak sosial para warganya, maka dapat dipastikan bahwa Indonesia termasuk negara Islam.