MENGAJARI AYAM BERKOKOK
Pernah dapat pesan singkat dari teman atau seseorang yang memuat anjuran tak berbuat buruk dan ajakan berbuat baik? Umpama, "Janganlah berdusta dan jujurlah," lalu disambung teks ayat suci, semisal, "Kutukan Allah atas para pendusta."? Bagaimana perasaan Anda setelah membacanya?
Ada pula kalimat yang bagus dan benar tapi lazim dianggap saklek, bahkan dogmatis, karena jarang diklarifikasi, seperti "mari kita kembali ke Qur'an dan Sunnah Nabi," "bertauhidlah dan jauhi syirik", atau kalimat senada lainnya. Jika itu dibaca oleh seorang muslim rata-rata atau awam, yang beragama berdasarkan warisan dan sentimen, atau memahami agama sekadar aktivitas kolektif (bukan aktivitas kognitif, apalagi intuitif), tentu ia akan spontan mengiyakan dan manggut-manggut saja. Toh semua yang disebutkan memang sudah popular, khas Islam.
Tapi manakala kalimat-kalimat bernada ajakan itu dibaca pihak yang meyakini Islam dan sedang mentauhidkan Allah, maka persoalannya jadi lain, bahkan bisa jadi rumit dan sangat menggangu. Semua kalimat itu hanya relevan bila disampaikan kepada pihak yang diketahui sebagai muslim tapi tak peduli pada agamanya, atau mengaku tidak mengimani Qur'an dan Sunnah.
Jika ditelusuri latar asumsinya, minimal terdapat dua tendensi di baliknya. Pertama, pengujar atau pembuat konten itu "menyuruh muslim menganut Islam". Analoginya sama dengan mengajari ayam berkokok atau menggarami laut (dalam manthiq disebut "tahshil al-hashil") yang hanya menawarkan absurditas. Kedua, pengujar dan penulis konten tersebut menganggap pihak yang diajak kembali ke Qur'an dan Sunnah sebagai tidak mengikuti kedua sumber kanonik Islam tersebut. Itu artinya, orang yang diajak bertauhid dianggap musyrik namun tak sadar, sehingga implisit diperlakukan sebagai non-muslim atau kafir atau, minimal, dianggap keliru dan sesat dalam memahami Islam, Qur'an, dan Sunnah.
Bila diperhatikan lebih jauh, kata "kembali" di awal kalimat mengandaikan kondisi "pada awalnya mengikuti lalu meninggalkannya". Sulit rasanya menemukan justifikasi, bahkan apologi di balik lontaran kalimat itu selain kedua asumsi di atas.
Penerima pesan singkat sangat mungkin jengkel karena merasa dituduh telah berdusta dan tidak jujur, meski konten pesan itu hanya sebatas dakwah atau nasihat tulus sementara si pengirim berdalih hanya ingin mengingatkan. Ketidaknyamanan yang sama boleh jadi dirasakan sebagian orang yang mendengar ajakan bertauhid dan meninggalkan syirik; ada kesan, mereka dituduh musyrik.
Apa yang melatarbelakangi menyeruaknya teriakan "kembali ke Qur'an dan Sunnah" dan "Bersihkan diri dari syirik" belakangan ini?
Dalam Qur'an, terdapat ayat: "… jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian." (An-Nisa' : 59).
Ayat di atas memuat anjuran kembali kepada Allah melalui Qur'an dan kepada Rasul melalui Sunnahnya bila berselisih tentang suatu perkara. Nah, karena mengafirmasi Qur'an dan Sunnah sebagai rujukan utama Islam, setiap muslim otomatis akan merujuk pada keduanya.
Anjuran merujuk Qur'an dan Sunnah tentu saja bermakna anjuran untuk memahaminya. Karena itu, apa yang dipahami orang yang merujuk pada keduanya niscaya berupa produk pemahamannya. Itulah yang disebut dengan "tafsir" dan "takhrij". Faktanya, produk pemahaman itu amat bervariasi, baik dari segi bentuk maupun kualitasnya. Maka, kemunculan aneka tafsir Quran dan ragam takhrij Sunnah (hadis) di tubuh umat Islam merupakan sesuatu yang niscaya.
Sebagai produk pemahaman yang subjektif spekulatif, dan relatif terhadap teks suci yang tertera, tafsir dan takhrij jelas-jelas tidak paralel, apalagi identik, dengan wahyu yang terkandung di balik teks Qur'an dan Sunnah.
Benar bahwa Allah menganjurkan setiap muslim yang berselisih tentang suatu perkara untuk merujuk kepada-Nya dan kepada Rasul. Namun, itu salah satunya bermakna, Dia menganjurkan setiap muslim untuk memahami dan mengamalkannya secara bertanggung jawab sesuai metode tafsir dan takhrij masing-masing.
Sebab, "konsep" sebagai yang paling bertanggung jawab dalam proses memahami sesuatu sekaligus perantara antara wahyu dan penafsir (manusia), tidak punya jaminan kesucian. Dengan kata lain, selama setiap muslim tidak yakin dirinya suci, maka pemahamannya tentang teks niscaya terbuka dan mengikat muslim lainnya sebagai konsekuensi kenisbian alias ketidaksucian dirinya.
Seluruh mazhab dalam sejarah Islam tentu mengklaim dirinya mengikuti Sunnah Nabi. Maka dari itu, teks yang dipercaya sebagai sunnah atau hadis Nabi oleh suatu mazhab tak mesti dipercaya sama oleh mazhab lain. Sebab, kriteria untuk menentukan suatu teks sebagai hadis atau bukan, berstatus sahih atau lemah bahkan palsu, berikut prosedur periwayatan yang ditetapkan setiap mazhab dan kelompok boleh jadi berbeda, atau malah bertentangan satu sama lain.
Ketidakpercayaan metodologis terhadap kesahihan suatu hadis yang justru dipercaya dan diklaim sahih oleh mazhab lain bukan bermakna menolak hadis Nabi. Justru itu merupakan sikap ilmiah yang patut dikedepankan dalam beragama secara bernas. Apalagi jika mengingat beragamnya metodologi tafsir ayat-ayat Qur'an hingga pola identifikasi kualitas riwayat serta kriteria perawi yang sepanjang sejarah, bahkan telah melahirkan sub-sub mazhab dalam mazhab-mazhab keislaman.
Orang yang tidak bisa menahan mulutnya untuk mengadili produk pemahaman pihak atau mazhab lain hanya berdasarkan hadis yang dipercaya sahih oleh mazhabnya, atau kelompoknya, atau bahkan dirinya sendiri, boleh jadi sebenarnya tidak memahami (atau tidak menganggap penting untuk memahami) apa itu “sahih” dalam konteks dirayah dan musthalahulhadits. Akibatnya, sang oknum yang kebanyakan dihore-hore sebagai "ustadz" itu biasanya akan enteng mengujar “Kembali ke Quran dan Sunnah” tanpa peduli kerumitan ilmiah yang dikandungnya.
Toh tujuannya memang bukan mendakwahkan Islam sebagai agama melainkan "Islam" sebagai dogma. Sebab, Islam sebagai agama hanya hidup dalam khasanah keilmuan dan kekuatan argumen yang niscaya. Tanpa ilmu dan argumen, Islam akan turun jauh ke kelas dogma.
Nah, "Islam" sebagai dogma hanya perlu idiom dan sentimen, bukan ilmu dan argumen. "Islam" dogmatis itulah yang dihapalkan para "ustadz" penghapus bismillah dalam shalat dalam sihirnya selama ini. Akibatnya, banyak pemuda lugu bahkan ASN dan pejabat tulus yang ingin menjadi muslim saleh, terhipnotis dibuatnya serta ikut-ikutan jumud dan intoleran. Bahkan tak jarang para "murid" itu juga senekat "ustadz"nya, suka menyemburkan tudingan syirik, bid'ah, sesat, bukan Islam, kafir, dan seterusnya.
Alakullihal, mazhab kita masing-masing merupakan modus keyakinan subjektif dan relatif tentang Islam yang satu. Sunni, Syiah, Salafi dan lainnya hanyalah nama-nama metodik dan mazhabi dalam sejarah umat Islam, bukan dalam Islam. Setiap Muslim penganut mazhab apapun perlu sadar diri dan menerima fakta kenisbian; tidak tutup mata terhadap kenyataan bahwa pemahamannya tentang teks suci takkan pernah semutlak wahyu. Kini, yang tak kalah urgen, adalah bagaimana mengamalkan pemahaman nisbi kita masing-masing sebaik mungkin, sebelum menjalani investigasi hakiki di hadapan Allah yang Maha Adil.