MENGAKU SYIAH

MENGAKU SYIAH
Photo by Unsplash.com

Kalau setiap penganut mazhab ini menyembunyikan diri, lalu kapan bangsa Indonesia akan tahu kiprah dan kontribusinya?

Kalau sebagian penganut mazhab ini menyembunyikan diri demi kemudahan mencari nafkah, lalu apakah sebagian yang menampakkan diri dengan semua risikonya tak merasa perlu mencari nafkah?

Kalau sebagian penganut mazhab ini menyembunyikan diri demi kenyamanan dan keamanan, lalu apakah sebagian yang menampakkan diri dengan semua risikonya harus dibiarkan dan diabaikan?

Kalau setiap penganut mazhab ini menyembunyikan diri, lalu kapan bangsa Indonesia akan tahu kiprah dan kontribusinya?

Kalau sebagian penganut mazhab ini menyembunyikan diri karena ingin pergaulannya luas, apa arti pergaulan luas bila identitas realnya disembunyikan?

Menampakkan diri sebagai penganut mazhab ini tak mesti menyombongkan diri, apalagi menjajakan mazhabnya, menantang debat dan menghujat mazhab lain.

Berprilaku sopan dan toleran, bahkan mengalah seraya memperkenalkan diri sebagai penganut mazhab ini adalah cara cerdas menepis propaganda dan provokasi para agen intoleransi.

Mengaku sebagai Syiah tidak berat, karena pengakuan hanya memerlukan suara dan tulisan. Tapi menjadi Syiah (sejati) bukan hanya berat tapi semi mustahil. Tak perlu berapologi menolak mengaku Syiah hanya karena tak siap menerima risiko sosialnya. Justru mengaku Syiah secara otomatis mengikat diri pengaku dengan beban tanggungjawab komunal sebagai “kita” dalam pandangan, sikap dan prilaku.

“Saya tak pantas menjadi Syiah” adalah ungkapan tulus yang meluncur dari spirit kerendahan hati. Tapi itu tidak boleh diungkapkan sebagai klise dan justifikasi untuk tidak berupaya mendekatkan pengakuan dengan ajaran dalam sikap dan prilaku.

Menyembunyikan keyakinan justru sering menggerus tangggungjawab dan solidaritas komunal, sehingga pandangan, sikap dan prilakunya (terutama dalam komunikasi virtual) tanpa sadar menjadi beban bagi mazhab, komunitas dan para penganut yang menampakkan diri dengan kesadaran menerima segala risikonya.

Menyembunyikan keyakinan memang kadang wajib dilakukan bila syarat-syarat fikihmya terpenuhi. Tapi mengidentifikasi “syarat-syarat bertaqiyah” tidaklah mudah dan selalu dievaluasi. Bila bertaqiyah dan tidak bertaqiyah tetap menerima risiko diskriminasi, maka alasan syar’i untuk itu lenyap.

Saat mazhab ini dikepung dengan aneka fitnah dan para penganutnya disesatkan dan dikafirkan bahkan dianiaya oleh gerombolan kecil di tengah mayoritas yang toleran, maka yang paling bertanggungjawab membela dan mempertahankannya adalah setiap individu penganutnya, bukan tokoh-tokoh di luarnya.

Dalam situasi penuh gejolak dan saat para penganutnya diseret-seret ke kancah konfllik kepentingan politik yang berjangka pendek, setiap orang yang merasa menganut, mencintai atau atribusi apapun yang substansinya adalah merelasikan dirinya dengan ajaran ini harus punya dua kesadaran; personal sebagai pribadi parsial dengan tanggunjawab taklifnya dan impersonal sebagai satu pribadi universal Syiah dengan tanggungjawab impersonal dan komunalnya melalui penghargaan mutual, solidaritas dan koordinasi serta rekonsiliasi.

Read more