MENGAPA KONTEN NEGATIF LEBIH DIMINATI?

MENGAPA KONTEN NEGATIF LEBIH DIMINATI?

Media sosial adalah media berbasis internet yang berupa ruang interaksi virtual oleh teknologi multimedia. Media sosial memiliki banyak dampak. Salah satunya adalah dampak negatif fenomena haters.

Haters adalah orang yang tidak segan menyerang orang yang dibencinya dengan kata-kata kotor, melecehkan, hingga menghina.

Dampak itu tidak hanya merambah masyarakat luas, para remaja juga terkena imbas dari proses penyebaran kebencian tersebut.

Fenomena ini menimbulkan keresahan berskala luas di Indonesia. Karena itu, ditetapkanlah Undang-Undang tentang ujaran kebencian melalui Pasal 27 ayat (3) UU ITE, Pasal 45 ayat (1) UU ITE dan Surat Edaran (SE) Kapolri nomor SE/6/X/2015. Meski demikian dan karena pihak yang menjadi korban tak punya akses ke instansi penegak hukum, konten-konten kebencian tetap marak bahkan kian menggila.

Mengapa di media sosial konten-konten kebencian, kemarahan, provokasi, perundungan dan yang negatif lebih dinikmati dan tersebar sangat luas dan cepat?  Bagaimana menganalisa dalam persektif Neuroscience?

Reaksi Emosional

Neuroscience menunjukkan bahwa emosi yang kuat, termasuk rasa kemarahan dan kebencian, dapat memicu respons yang lebih aktif di otak manusia.

Ketika terlibat dengan konten berbau kebencian atau negatif, reaksi emosional dapat lebih intens dan membuat kita merasa tertarik dan terlibat secara emosional.

Efek Sensasi dan Kontroversi

Konten yang kontroversial atau provokatif sering kali dapat menimbulkan sensasi dan memberikan perasaan "terpukau" kepada pembaca atau penonton.

Otak manusia cenderung tertarik pada kejadian atau informasi yang berbeda atau tidak biasa, sehingga konten yang negatif atau kontroversial dapat menarik perhatian lebih banyak orang.

Algoritma dan Engagemen

Platform media sosial sering menggunakan algoritma yang dirancang untuk menampilkan konten yang dianggap paling menarik bagi pengguna.

Konten negatif yang mendapat banyak reaksi, seperti like, comment, dan share, cenderung dianggap "engaging" oleh algoritma dan kemudian tersebar luas kepada lebih banyak orang.

Bias Konfirmasi

Manusia cenderung mencari informasi yang mengkonfirmasi keyakinan atau pandangan yang sudah dimiliki, yang dikenal sebagai bias konfirmasi.

Konten negatif atau berbau kebencian sering kali memperkuat keyakinan atau pandangan yang sudah ada, sehingga lebih disukai untuk disebarluaskan.

Read more