MENGETAHUI TAK MESTI MENGIMANI

MENGETAHUI TAK MESTI MENGIMANI
Photo by Unsplash.com

Seusai joging saat duduk bermandi peluh menikmati minuman wedang sereh suguhan teman yang rumahnya jadi pusat nutrisi dikomplek saya disapa teman lama. Meski sudah tak muda lagi, dia sangat #menggemari tema-tema rasional seputar teologi. Setiap kali berjumpa dengan saya, dia selalu antusias meminta saya memberikan sedikit wacana seputar teologi demi menyegarkan pikiran hasil kajian saya tempoe doeloe yang diikutinya meski tak punya banyak waktu untuk berbincang lama karena harus kembali bekerja sebagai pengawas taman sebuah sekolah terpadu

"Ustadz, banyak orang yang terlihat punya pemahaman yang cukup dengan argumen rasional tentang Tuhan dan Agama tapi perilakunya tak menampakkan itu. Saya mau klrarifikasi apakah iman tak mesti selaras dengan amal?

Dia melantarkan pertanyaan ini dengan mimik wajah yang sangat serius. Saya yang berniat nyantai kontan ketularan serius.

"Begini mas Eko, mengetahui benar dan salah juga memahami baik dan buruk tak sama dengan mengimaninya. Menerima kebenaran adanya Tuhan, kebenaran agama, kebenaran ajaran Nabi dan para imam juga hari akhir tak niscaya mengimaninya."

Iman pastilah pengetahuan, namun tak niscaya sebaliknya. Ia adalah kombinasi pengetahuan (sebagai buah kecerdasan rasional) dan cinta (sebagai buah kecerdasan emosional). Kombinasi pengetahuan dan cinta inilah yang melahirkan kepatuhan alias amal."

Mengetahui kebenaran adalah peristiwa intelektual. Mengimani adalah peristiwa spiritual. Pengetahuan tercermin dalam pemahaman dan penjelasan. Iman tercermin dalam ketundukan dan kesiapan menerima risiko yang muncul dalam implementasi.

Banyak yang mengetahui kebenaran nampun dalam praktik mengutamakan keuntungan dan kepentingan. Banyak sudah mengetahui dan menerima kebenaran sebuah pandangan namun tak berani mengimaninya karena tak sanggup menanggung beban teologisnya dan konsekuensi praktikalnya.

Read more