Malam mengelus bundar basah di paras penyendiri lalu membisikkan asa ke dalam sanubarinya dan bayang-bayang cinta di balik horison yang terjuntai.
Ia masuki gereja, kuil, sinagog, biara, candi, masjid dan semua balai penghambaan untuk menenggak seteguk kesunyian tapi disergap bising.
Setelah menikmati tarian cinta dan kerlingan mata Sang Saqi, ia berjalan sempoyongan dari kedai anggur menabrak bahu darwisy lain.
Ia menghela napas. Matanya perih, bukan karena kantuk, tapi letih memejamkannya demi mengundang tidur agar sembunyi dari tandatanya-tandatanya.
Tak tahu lagi tentang dirinya. Seperti gila tapi sadar, lemas tapi bicara asa, kecewa kepada cinta tapi menantikannya.
Arah tak lagi penting. Layar dibuka bukan demi mencapai pantai tapi karena tunduk kepada Peniup angin. Ia lelah mencari alasan untuk bertahan.
Ia biarkan angkasa alam menangis dengan rinai dan angkasa batin menangis dengan derai karena nikmat derita.
Ia menikmati basah alam dan basah mata karena derita adalah cubitan kekasih yang menerbitkan gelinjang asmara kesadaran.
Ia memagut buana yang menggigil dalam keheningan asing dengan celoteh mistik dalam cengkrama bisu antara diri pertama dan kedua.
Celoteh-celoteh mistiknya dalam cengkrama bisu disusul suara-suara langit yang dipantulkan menara-menara surau dan masjid jelang fajar.
Jiwanya resah. Hatinya gelisah. Matanya basah. Angin menghibur dirinya yang tertunduk dengan untaian ayat dan doa bersahutan di angkasa.
Bila kegembiraan seperti gula, kesedihan laksana garam. Bila tangis bak lautan, tawa bagai daratan. Ia bersila di tengahnya.
Ia menggaruk lingkaran luka seakan berharap sakitnya tak segera lenyap karena cinta terasa nikmat saat diabaikan.
Luka adalah prasasti pengorbanan ego dan perjuangan melawan tiran kepalsuan berjubah sutra. Luka membuktikan bahwa dirinya bukanlah batu.