"MENGHINA BUDAYA ARAB"

"MENGHINA BUDAYA ARAB"

Setiap pelopor agama punya tempat kelahiran. Secara niscaya setiap agama juga punya tempat kelahiran yang menjadi tempat pertama di mana ia diwartakan.

Karena setiap wilayah dihuni oleh masyarakat penduduk yang berinteraksi, maka niscaya terbentuklah budaya khas yang menjadi gaya hidup dan tradisi.

Setiap agama memiliki akar budaya yang dalam dan erat terkait dengan tempat kelahiran dan pertumbuhannya. Budaya dan agama saling memengaruhi dan membentuk identitas masing-masing. Budaya merupakan medium di mana ajaran agama diterjemahkan dan diamalkan oleh umatnya.

Hinduisme tak lepas dari identitas dan budaya India. Konghucu tak bebas dari identitas dan budaya China, Buddhisme tak bebas dari budaya India dan China, Kristen terutama Katolik tak lepas dari budaya Eropa. Le ih-lebih Yahudi. Salah saru elemen penting budaya adalah bahasa. Kitab suci, ritual dan mantra terlanjur diajarkan dan ditulis dalam bahasa tempat kelahirannya.

Dalam tinjauan antropologis dan sosiologis, hubungan antara agama, budaya, dan identitas suatu masyarakat dapat dipahami melalui berbagai konsep dan teori yang saling terkait. Sosiologi agama menyoroti bagaimana agama tidak dapat dipisahkan dari budaya tempat kelahirannya dan bahwa budaya menjadi medium di mana ajaran agama diterjemahkan dan diamalkan oleh umatnya.

Meskipun agama mungkin tumbuh dalam konteks budaya tempat kelahirannya,, agama-agama menyebar ke seluruh dunia dan diadopsi oleh beragam kelompok etnis dan budaya. Itu artinya, dalam konteks implementasi ajarannya, budaya primer tempat kelahiran pelopornya tidak bisa dihapus dan diganti secara total dengan budaya wilayah yang bukan tempat kelahirannya, karena hal itu menimbulkan implikasi fatal terhadap keabsahan dan kesakralannya. Yang bisa dilakukan adalah mengharmoniskan budaya primer yang melingkupi kontruksi sosiologis dan antropologis pelopor dan masyarakat penganut pertama dengan budaya tempatan sehingga mensintesakan sebuah budaya paduan.

Hal ini menunjukkan proses dinamis di mana identitas agama dan identitas budaya lokal saling berdampak dan berubah seiring waktu.

Postulat antropologis ini menekankan pentingnya pengakuan akan asal-usul agama, budaya, dan identitas dalam proses adaptasi dan penyebaran agama di berbagai wilayah. Menghormati dan memahami keterkaitan ini dapat mengharmoniskan budaya primer dengan budaya tempatan yang baru diadopsi dapat menciptakan kesinambungan dan sintesis yang menghormati kedua sisi.

Aneh bila mengaku sebagai penganut Islam (yang berkelindan dengan budaya lokal masyarakat di tempat kelahirannya) tapi menghina budaya Arab. Padahal nama dan simbol-simbol yang disakralkannya  berhuruf dan menampilkan tulisan dalam bahasa Arab, kitab-kitab sorogannya yang diajarkan di sentra-sentra kleriknya ditulis dengan bahasa Arab. Semua ritus dan tradisinya berbahasa dan bernuansa Arab. Tulisan bahasa lokalnya berhuruf Arab. Budayanya beraroma Arab.

Agama per se adalah properti "prilangit", tak bisa diracik dengan pribumi di tempat kelahirannya maupun di wilayah lain yang diperkenalkan sebagai bingkisan indah para imigran peniaga plus pendakwah.

Tapi agama yang sakral atau per se sebagai wahyu ketika dituturkan sebagai kata yang dipahami oleh makhluk pribumi (non prilangit) ia menjadi agama profan. Itulah budaya di mana pun.

Sekali lagi, ini adalah postulat antropologi. Menolak fakta determinan ini adalah pamer kekonyolan. Siapa pun tak perlu mengingkari itu. Budaya masyarakat di tempat agama itu pertama kali diwartakan secara antropologis pasti membungkusnya. Islam tak mungkin dipisahkan dari budaya Arab, tapi budaya Arab yang membungkus agama Islam karena lahir atau diwartakan pertama kali di wilayah Arab bisa dan perlu dipadu dengan budaya lokal di luar wilayah kelahirannya.

Read more