Pertanyaan ini problematik, karena telah menetapkan secara implisit bahwa keduanya tak harmonis.
Kata “Mengikuti Al-Quran” dalam pertanyaan “mengikuti Al-Quran atau Pancasila?” mengesankan penggiringan opini bahwa penafsiran terhadap Al-Quran atau pemahaman nisbi tentang Al-Quran adalah Al-Quran itu sendiri sebagai wahyu suci. Padahal persepsi umat, termasuk para mufassir dan orang-orang yang dianggap ulama oleh masing-masing kelompok, tentang kandungan Al-Quran tidak akan pernah bisa dan boleh secara epistemologis diperlakukan sebagai Al-Quran itu sendiri yang hanya dipahami secara pasti dan tunggal oleh Nabi (dan para imam suci menurut mazhab Ahlulbait).
“Mau mengikuti Al-Quran” dalam pertanyaan “mengikuti Al-Quran atau Pancasila” mestinya hanya bisa dipahami dan diartikan “mengikuti sebuah penafsiran atas Al-Quran”. Andai kalimat “mengikuti Al-Quran” dalam pertanyaan tersebut dipahami sebagi “mengikuti Al-Quran” sebagai wahyu suci, maka pembuat pertanyaan patut diduga menganggap penafsiran kelompoknya atau penafsiran dirinya sebagai wahyu suci yang merupakan kebenaran mutlak, tunggal dan final. Bila setiap penafsiran (yang takkan pernah mewakili secara tunggal dan mutlak) atas Al-Quran adalah Al-Quran itu sendiri, maka beragam produk persepsi spekulatif diperlakukan sebagai sesuatu yang mutlak. Tentu ini bertentangan dengan akal sehat dan prinsip kenabian.
Bila kata “mengikuti Al-Quran” dalam pertanyaan di atas dimaksud sebagai “mengikuti sebuah penafsiran atas Al-Quran”, maka patut diduga sebagai menganggap penafsiran-penafsiran lain sebagai salah dan mengarahkan pihak yang ditanya mengabaikan penafsiran-penafsiran lain.
Kata lanjutannya “atau mengikuti Pancasila” dalam pertanyaan “mau mengikuti Al-Quran atau mengikuti Pancasila” juga menyisakan problematika dan paradok.
Pancasila bukanlah Al-Quran dan bukan pula wahyu Tuhan. Ia adalah persepsi dan konsep yang dicetuskan oleh individu atau sejumlah manusia. Ia tak berbeda secara epistemologis dengan penafsiran sebagai buah pikiran manusia tidak suci. Namun, meski produk konsepsi dan bukan wahyu, lima premis, terutama Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan buah konsepsi kolektif para pendiri bangsa dan negara Indonesia dari diskusi serius yang amat panjang.
Pancasila adalah karunia besar yang relevan dan logis, juga realistis sebagai asas negara yang didirikan oleh para pendiri dari ragam agama dan dihuni oleh masyarakat multi agama. Tapi yang tak kalah penting dari konsepnya adalah implementasinya agar setiap individu warga Indonesia dan setiap kelompok keyakinan menikmati hak berkeyakinan dan mengamalkannya tanpa diskriminasi kelompok dan tanpa pengabaian pemerintah pusat dan daerah terhadap minoritas dengan dalih stabilitas alias mengutamakan mayoritas.