MENGINTIP TEKS "DOA ULTIMATUM"
Diceritakan bahwa jelang perang Badar umat Islam yang berjumlah sedikit merasa tertekan dan nyaris frustasi menghadapi jumlah besar pasukan musuh. Dalam cerita itu disebutkan bahwa Nabi SAW memanjatkan doa yang arti isinya adalah "Bila Engkau membinasakan (tak memenangkan) pasukan (kami) ini, takkan ada lagi yang menyembahmu di atas muka bumi." Karena pengaruh doa itu Allah mengirimkan bala tentara langit untuk mendukung mereka. Badar pun dimenangkan secara gemilang oleh umat Islam.
Jelang pemilu, doa luar biasa itu disiarkan ulang berupa narasi yang dipuisikan oleh sesorang yang memposisikan lawan politiknya sebagai musuh yang sama dengan pasukan yang dihadapi umat Islam dalam perang besar Badar. Geger tak terhindarkan. Yang sekelompok dengannya bersorak sorai. Yang tak sekubu marah karena merasa disamakan dengan pasukan musuh Nabi SAW.
Setidaknya ada riwayat tentang doa tersebut. Salah satunya adalah riwayat Umar bin Khaatthab dan Ibnu Abbas. Dalam Shahih Muslim (1763), dan Musnad Ahmad (208) Ibn Abbas berkata:
Saat menghitung sahabat-sahabatnya yang berjumlah tiga ratus lebih, dan musyrikin yang berjumlah seribu. Nabi SAW menghadap kiblat, lalu mengulurkan tangannya dan berucap:
اللهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي، اللهُمَّ آتِ مَا وَعَدْتَنِي، اللهُمَّ إِنْ تُهْلِكْ هَذِهِ الْعِصَابَةَ مِنْ أَهْلِ الْإِسْلَامِ لَا تُعْبَدْ فِي الْأَرْضِ
("Ya Allah, penuhilah apa yang kau janjikan padaku. Jika kau menghancurkan orang-orang Islam ini maka Engkau takkan disembah.")
Shahih Musilim (1743) mencantumkan riwayat Anas bin Malik yang memuat teks lanjutan dalam doa jelang perang Uhud:
اللهم إنك إن تشأ لا تعبد في الأرض
("Ya Allah, bila Engkau berkehendak, Engkau tidak akan disembah di muka bumi.”)
Dua versi teks di atas memberikan signifikansi makna yang berbeda secara substansial.
Teks pertama bisa ditafsirkan sebagai ancaman kepada Allah untuk takkan menyembahnya.
Teks kedua mengandung dua makna sebagai berikut:
Pertama: Ia bukan teks ancaman tapi ekspresi kekhawatiran takkan ada lagi orang bertauhid yang hidup karena dibunuh atau ditawan dan dipaksa meninggalkan Tauhid bila pasukan anti Tuhan memenangkan pertempuran yang tak seimbang itu.
Kedua: Teks "Bila Engkau berkehendak..." menkonfirmasi keberserahan kepada kehendak Allah.
Ketiga : kata la (tidak) dan lan (takkan) terdalag dalam dua teks riwayat yang berlainan. Lan bisa diartikan pemberitahuan tenyang kekhawatiran dan lan bisa ditafsirkan ancaman.
Terlepas dari polemik seputar otentisitas teks doa tersebut, yang perlu diketahui adalah tak semua teks berbahasa Arab adalah teks agama. Tak semua teks agama adalah riwayat. Tak semua riwayat adalah hadis. Tak semua hadis adalah sahih. Tak semua hadis yang dianggap sahih oleh sekelompok Muslim adalah hadis sahih bagi kelompok Muslim lainnya. Tak semua hadis yang dianggap sahih adalah mutawatir. Tak semua hadis yang diklaim mutawatir adalah mutawatir secara faktual.
Tak semua teks yang berisi "Nabi bersabda..." dipastikan sebagai ucapan Nabi. Tak semua teks yang mencantumkan nama kitab dipastikan sebagai hadis Nabi. Perlu kehati-hatian mengutip dan menyebarkan teks terutama yang isinya dapat menimbulkan kontroversi dan multitafsir.
Hadis, Sunnah dan riwayat juga teks agama adalah zona sensitif yang hanya layak dimasuki oleh orang-orang yang punya cukup bekal sejumlah ilmu. Bila tidak, bukan hanya sia-sia tapi bisa menimbulkan efek negatif dalam area yang sangat luas. Inilah malpraktik pengutipan hadis.
Sebaiknya tidak keburu menelan teks yang berisi perkataan yang mencantumkan nama Nabi, apalagi menyebarkannya kecuali bila mengetahui sumber dan rangkaian perawinya serta mendapatkan penjelasan pihak yang kompeten.
Kegemaran mengonsumsi dan mendistribusikan teks agama dengan konten yang ambigu tanpa kompetensi adalah salah satu petaka umat.
Menyebarkan teks agama dalam situasi politik yang tegang akibat kecamuk polarisasi bisa dianggap sebagai kampanye tidak fair bahkan upaya sabotase.