Skip to main content

“MENJENGUK TUHAN”

Rasulullah saw bersabda, “Pada Hari Kiamat nanti Allah Swt akan menegur kita, ‘Wahai anak cucu Adam, Aku sakit, mengapa engkau tak menjenguk-Ku?’ Hamba bertanya, ‘Wahai Tuhanku, bagaimana aku menjenguk-Mu, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?’ Allah pun menjawabnya, ‘Kamu tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang sakit dan kamu tidak membesuknya.’”

Dialog itu pun berlanjut. “Wahai anak cucu Adam, Aku meminta makan kepadamu, mengapa engkau tidak memberi-Ku makan?” Hamba bertanya, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku akan memberi-Mu makan, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah menjawab lagi, “Kamu tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang kelaparan dan kamu tidak memberinya makan.”

“Wahai anak cucu Adam, Aku meminta minum kepadamu, mengapa engkau tidak memberi-Ku minum?” Hamba bertanya lagi, “Wahai Tuhanku, bagaimana aku akan memberi-Mu minum, sedangkan Engkau adalah Tuhan semesta alam?” Allah menjawab, “Kamu tahu bahwa hamba-Ku si fulan sedang kehausan dan kamu tidak memberinya minum.” (HR Muslim).

Dalam hadis tersebut, tergambar jelas bagaimana Allah sendiri yang mengajarkan pentingnya menjaga hubungan horizontal sesama manusia. Demikian pula pada firman-firman-Nya yang selalu menyandingkan antara aspek iman sebagai kunci hubungan vertikal, dengan aspek amal saleh pada hubungan horizontal. Perintah shalat, misalnya, hampir selalu dirangkaikan dengan perintah berzakat.

Baca juga:

TUHAN MINI

KEZALIMAN TERHADAP TUHAN

QS. al-Baqarah: 43 “Dan dirikanlah shalat, tunaikan zakat, dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.” Ayat ini menunjukkan bagaimana Allah mengajarkan manusia untuk menjaga keseimbangan di antara kedua bentuk relasi itu.

Dalam firman-firman-Nya yang lain, Allah juga banyak menekankan tentang dekatnya keimanan dan amal saleh. Bahkan, setidaknya, 71 kali Allah menekankan (dengan segala varian perubahannya) pentingnya melakukan kedua hal itu sekaligus.

Di antara firman Allah yang paling familiar terkait hal ini, misalnya, QS. al-Ashr (1-3): “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling menasihati dengan kebenaran dan saling menasehati dengan kesabaran.”

Tidak hanya menggambarkan pentingnya saling melengkapi antara iman dan amal saleh, firman Allah itu juga menegaskan bahwa pendekatan yang digunakan dalam berdakwah bukan hanya menasihati ihwal kebenaran, melainkan juga dengan kesabaran. “Takfiri” (yang dewasa ini menggejala secara sosial sedemikian memprihatinkan karena faktanya kebanyakan darinya berujung pada pembunuhan dan pembantaian tanpa dasar) bukanlah bentuk yang kesabaran dalam berdakwah.

Amal saleh seseorang amat dipengaruhi kadar imannya. Iman secara etimologis berarti “percaya”. Perkataan iman diambil dari kata kerja amana – yu’minu, yang berarti “percaya” atau “membenarkan”. Kata “iman” serumpun dengan aman dan amanah, sehingga etimologinya secara lengkap adalah “keyakinan yang menimbulkan rasa aman bagi yang meyakini dan memberikan rasa aman bagi pihak lain”.

Iman secara terminologis adalah produk yang lahir dari relasi subjek dan objek. Relasi ini memiliki dua bentuk. Pertama, relasi subjek-objek melalui korespondensi yang disebut pengetahuan atau lebih khusus lagi, persepsi rasional. Kedua, relasi subjek-objek melalui iluminasi, yang disebut kesadaran atau persepsi intuisional.

Pengetahuan yang berkarakter rasional dan kesadaran yang berciri intuisional merupakan dua aspek kepercayaan atau iman setiap insan. Secara umum, semua persepsi pada mulanya terdiri dari dua kategori, dilihat dari proses kemunculannya. Pengetahuan adalah gambaran tentang sesuatu yang dicandra jiwa lewat salah satu pancaindera eksoterik (fisik). Kesadaran adalah sesuatu hadir dalam diri atau diketahui lewat kehadiran tanpa mediasi apapun. Ini juga lumrah diistilahkan dengan kesadaran eksistensial.