Menonton Piala Eropa dengan Perspektif ”Teologi Perlawanan”
Tim-tim Status Quo dari negara-negara adidaya sepakbola dunia dan Eropa mulai berguguran dan menjadi objek cemooh para suporternya.
Inggris yang mengklaim sebagai moyangnya olaharga ini sudah terdelete oleh Kroasia dari Piala Eropa 2008 di Swis dan Austria. Italia, yang sebelumnya membawa nama besar sebagai juara dunia, kedodoran dalam dua laga. Jerman yang diisi oleh mesin-mesin bola tak jauh berbeda dengan PSSI saat dipecundangi Krosasia. Perancis yang hampir seluruh pemainnya lahir di Afrika dan pernah menjadi Juara Eropa dengan Zidane masuk dalam daftar ‘gawat darurat’ oleh tim Orange.
Tim-tim menengah seperti Belanda, yang biasanya selalu tampil bagus tapi selalu sial, mulai membuktikan diri gladiator. Spanyol yang selalu lolos di piala dunia dan piala Eropa tapi gagal masuk laga final, mulai menunjukkan karakter matadornya. Portugal, negara yang pernah menjajah seperempat bumi, juga menunjukkan diri sebagai kandidat juara. Turki, negara setengah Eropa dan pernah menguasai separuh dunia Islam dengan dinasti Otoman-nya yang korup, juga bisa menjadi salah satu andalan alternatif. Kroasia, pecehan Yugoslavia, tidak layak dipandang sebelah mata. Polandia, negara yang pernah dipimpin oleh proletar Lech Walesa itu, cukup menjanjikan. Rumania, dengan si Bengal, Adrian Mutu, patut diprediksi sebagai calon adidaya.
Sepakbola lebih mendebarkan bila juga ditonton dari perspektif teologi ‘mustakbirin’ versus ‘mustadh’afin’.