Skip to main content

Dalam umat yang mengimani Muhammad SAW sebagai rasul Tuhan, sejumlah orang mengabaikan sejarah Nabi SAW (apalagi para manusia suci),

Dalam umat yang memuliakan sejaran Nabi SAW, sebagian kelompok memuliakannya tanpa para manusia suci yang diwasiatkan oleh Nabi ‘ sedangkan sebagian lain memuliakan Nabi juga memuliakan para manusia suci itu.

Dalam kelompok yang memuliakan sejarah Nabi dan para manusia suci, sejumlah orang memperingati sejarah hidup mereka secara rutin.

Dalam kelompok yang memperingati secara sejarah Nabi dan para manusia suci, sejumlah orang memperingatinya secara ritual.

Dalam kelompok yang memperingati sejarah Nabi dan para manusia suci secara ritual, sebagian memperingatinya juga secara teologis (intelektual).

Dalam kelompok yang memperingati secara teologis (intelektual) sejarah Nabi SAW dan setiap manusia suci, sejumlah orang memperingati secara ideologis (aktual) sejarah Nabi SAW dan setiap manusia suci.

Sebagian besar penonton hanya ingin menikmati episode demi episode kisah aneka genre, bukan menirunya atau mencerap pesan dan nilai di baliknya. Mereka terharu, menangis bahkan tersedu-sedu bila yang ditayangkan adalah drama yang mengharu biru. Mereka tertawa bahkan terpingkal-pingkal bila yang diceritakan adalah adegan jenaka. Mereka tegang ketakutan bahkan kadang memekik ngeri bila yang terpampang adalah kisah horor atau aksi kekejian. Mereka marah, mengeratkan graham bahkan mendengus bila yang dilukiskan adalah kisah yang mengundang simpati kepada pahlawan dan antipati terhadap tiran.

Tertawa, menangis dan afeksi lainnya, menurut para ahli syaraf dan pskitiatri, adalah perilaku yang lumrah dialami oleh setiap manusia normal sebagai respon kimiawi syaraf, disebut neuropsikologis, yang tak mesti didasarkan pada otentisitas objek yang dipersepsi saat dilihat atau didengar juga dibaca. Malah reality show dan film sukses mempengaruhi emosi penonton yang sejak semula menyadarninya sebagai buatan dan palsu. Dengan kata lain, empati, simpati dan antipati tidak melulu merupakan efek sebuah jalinan teologis dan keagamaan yang berdampak secara aktual terhadap perilaku pemberi respon.

Kisah-kisah itu hanya dinikmati dan difantasikan melalui serangkaian respon neurologis dan psikologis secara temporal sepanjang film ditayangkan. Akibatnya, ajaran-ajaran rasional, realistis, dan sempurna para manusia suci itu seolah hanya berupa cerita seorang figur dengan kehidupan mengharukan. Ya, hanya sampai di situ saja.

Memperingarti kelahiran dan kesyahidan Nabi serta para imam suci serta memuji-muji mereka tanpa kesadaran mereguk spirit kesiapan menerima risiko kepatuhan, kiranya dapat dianalogikan dengan antusiasme menonton film perjuangan heroik di layar bioskop atau ponsel. Aktivitas menonton ini hanya didorong oleh hasrat menikmati hiburan, mengais modal imajinasi, berselancar di alam fantasi, dan memompa adrenalin saat ditayangkan. Tapi seluruh pengalaman imajiner itu seketika lenyap tanpa bekas seiring tontonan berakhir.

Kawanan zionis luar biasa benci terhadap kelompok ini. Melalui berbagai kanal dan wahana, kawanan yang menjadi musuh besar kemanusiaan itu pun mati-matian memprovokasi umat seagama agar mengucilkan dan nenusuhinya. Sumber kebencian kawanan kolonial itu bukanlah antusiasme kelompok tersebut dalam memperingati hari-hari kelahiran dan kesyahidan serta sejarah kehidupan agung para manusia suci, tapi transformasi narasi sejarah menjadi teologi komprehensif yang kemudian dilanjutkan dengan transformasi teologi menjadi ideologi yang melejitkan spirit resistensi ke level maksimal kemanusiaan, sehingga menjadikan semangat mereka terus menggelegak.

Tentu memperingati kelahiran dan kesyahidan Nabi termulia saw dan para manusia suci lebih mulia dari memperingati kelahiran dan kematian siapapun, apalagi yang tak suci, termasuk orangtua, kakek, bahkan agamawan yang akrab. Namun, spirit pengorbanan yang menginspirasi kehidupan praktis dari para manusia suci yang diperingati kelahiran dan kesyahidannya niscaya jauh lebih mulia dari sekadar memperingati hari kelahiran dan kesyahidan mereka tanpa mengambil pelajaran darinya. Itu karena mengingat semua itu adalah bekal moral dan ideologis untuk menerima risiko keterkucilan, kemelaratan, keterancamaan, intimidasi, persekusi, serta kepungan fitnah, bahkan teror.