Menyelesaikan Konflik Palestina
Dalam sebuah diskusi di Jakarta bertema Analisis Konflik Palestina dan Keterlibatan Indonesia dalam Proses Damai, saya memulai pembahasan dari peta konflik internal Palestina sebagai pintu masuk upaya damai yang sudah ratusan kali digagas sejumlah pihak dari berbagai negeri. Dialog mencari solusi yang dihelat Departemen Luar Negeri RI pada 28 April 2008 lalu itu saya nilai penting karena Palestina memang masih saja menjadi bara api di Timur Tengah, bahkan sejak zaman para nabi hingga era digital hari ini.
Ternyata selain faktor luar berhadapan dengan Israel, dari dalam Palestina sendiri juga menyimpan sumber konflik yang tidak kecil. Melihat demikian ruwetnya persoalan di Palestina dan semakin hari semakin bertambah rumit, agaknya perlu mengurai benang kusut persoalan anak manusia di negeri kelahiran sejumlah nabi itu.
Kita perlu memahami karakteristik atau pola konflik dengan memahami latar perselisihan dan sejarah bangsa-bangsa yang memiliki keterkaitan langsung dengan Palestina. Sebelum masuk mendalam, marilah kita coba memotret Palestina dari sisi luarnya.
Secara organisasi, bangsa Palestina telah memiliki wakil resmi di Liga Arab ketika lembaga ini berdiri pada 1945. Waktu itu wilayah Palestina masih dikuasai Mandataris PBB, yakni Inggris. Pada pertemuan puncak negara-negara Arab tanggal 13 Januari 1964, diputuskan untuk membentuk lembaga perwakilan bangsa Palestina sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Zionis di wilayah Palestina.
Keputusan tersebut merupakan tanggapan positif dari usulan Gamal Abdul Nasser, presiden Mesir. Setelah melalui berbagai lobi yang dipimpin Ahmad Suqaery, berdirilah Organisasi Pembebasan Palestina (Munadzama al-Tahrir al-Palesthiniyyah) atau PLO.
PLO melakukan muktamar pertama di Yerussalem al-Quds pada 28 Mei 1964 yang dihadiri oleh wakil berbagai negara Arab dan dibuka oleh Raja Husain ibn Thalal, Raja Yordania. Pada muktamar ini Ahmad Suqaery terpilih sebagai ketua eksekutif yang pertama.
Dalam pertemuan Majelis Nasional Palestina yang dilakukan pada 10 Juli 1968 di Mesir, terbit keputusan bahwa perjuangan pembebasan Palestina dari pendudukan Israel ditujukan untuk seluruh tanah Palestina, bukan sebagian. Keputusan ini sekaligus menolak Resolusi Dewan Kemanan PBB No 242 yang menetapkan berdirinya dua negara di atas tanah Palestina, yakni Israel dan Palestina dengan rincian Israel menempati wilayah yang didudukinya pada 1948, sedangkan Palestina berdiri di atas Jalur Gaza dan Tepi Barat, tanah yang diduduki Israel pada perang 1967. Selanjutnya, pada pertemuan Majelis Nasional Palestina tanggal 4 Februari 1969 ditetapkan Yasser Arafat sebagai Ketua Eksekutif PLO.
Dalam perjalanan waktu bergabunglah faksi-faksi Palestina untuk perlawanan terhadap pendudukan Israel kecuali Hamas dan Jihad Islami yang menyatakan dirinya berada di luar PLO. Adapun faksi-faksi PLO pada masa 1960-an terdiri dari Al-Fatah (faksi terbesar dalam PLO) yang dipimpin Arafat, Democratic Front for Liberation of Palestine (DFLP) pimpinan Nayef Hawatmeh, Palestine People’s Party dipimpin Sulaiman Najjab, Popular Front for the Liberation of Palestine (PFLP) dipimpin George Habbas. Palestinian Liberation Front dipimpin Mohammed Abbas, Arab Liberation Front dipimpin Mahmut Ismail, Popular Struggle Front dipimpin Samir Goshe, Popular Front for the Liberation of Palestine- General Command (PFLP-GC) dipimpin Ahmed Jibril. Ada Saiqa, kelompok dukungan Suriah, dipimpin Islam Qadi.
Pada 15 November 1988 pertemuan Kongres Nasional Palestina di Aljazair mendeklarasian berdirinya Negara Palestina di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Ini sekaligus mengakui keberadaan Israel dan menerima Resolusi PBB No 242 dan 338 yang menetapkan berdirinya dua negara di wilayah Palestina dan pengakuan terhadap eksistensi negara Israel.
Pernyataan kemerdekaan dan pengakuan terhadap eksistensi negara Israel ini terjadi di tengah-tengah Intifadhah yang mulai meletus pada 1987. Meskipun ada faksi dari PLO yang terlibat aktif dalam gerakan Intifadlah bersama Hamas tentunya.
Pemantik perpecahan
Pada 1993 PLO bernegosiasi secara rahasia dengan Israel di Oslo, Norwegia. Meskipun perjanjian tersebut secara resmi dilakukan dan ditandatangani oleh Yasser Arafat dan Yitzhak Rabin di Washington DC bukan di Oslo dengan disaksikan oleh Presiden Bill Clinton. Perjanjian memutuskan berdirinya Otoritas Palestina di Jalur Gaza dan Jericho di Tepi Barat.
Perjanjian ini oleh banyak kalangan dianggap sebagai terobosan sejarah perdamaian di Timur-Tengah dan diharapkan bisa menyelesaikan konflik Palestina-Israel yang sudah berjalan 50 tahun. Perjanjian ini disebut Perjanjian Oslo I.
Perjanjian ini dianggap sebagai bentuk kekalahan PLO. Yasser Arafat dianggap terlalu mengalah pada kemauan Israel karena posisinya yang melemah sejak Perang Teluk 1991. Ia ditinggalkan para penyandang dana kuatnya, seperti Arab Saudi karena Arafat mendukung Pemerintahan Saddam Husein, berhadapan dengan tentara koalisi yang didukung negara-negara Teluk.
Hal ini yang menyebabkan Arafat mengambil jalan pragmatis dan menerima perjanjian Oslo I dan II yang secara substansial lebih merugikan Palestina dan pada akhirnya terlihat bahwa perjanjian ini benih perpecahan yang mendalam antara PLO dan para faksi penentang yang ada di PLO maupun di luarnya. Apalagi, PLO hanya didukung faksi utama, yakni Al-Fatah, Democratic Front for Liberation of Palestine, dan Palestine People’s Party.
Mayoritas faksi yang di dalam maupun di luar PLO, seperti Hamas dan Jihad Islami, tidak mendukung. Penerimaan PLO terhadap Perjanjian Oslo ini menyebabkan pertentangan yang mendalam antara PLO dan para pejuang Palestina yang menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai kemerdekaan melawan Israel, khususnya Hamas yang mendukung kuat gerakan Intifadlah.
Gerakan tandingan
Pada 25 Januari 2006 Hamas memenangkan pemilu sehingga Ismail Haniyah dilantik sebagai Perdana Menteri. Pada 28 Juni 2006 tentara Israel menyerbu Jalur Gaza yang berakibat pada penghancuran fasilitas dan terbunuhnya beberapa orang Palestina. Namun, salah satu tentara Israel bernama Gilad Shalit ditahan oleh Hamas. Kemenangan Hamas adalah kemenangan faksi di luar faksi yang mendukung PLO dengan peta perjuangan sangat kontras.
Perbedaan peta perjuangan ini membuat kemenangan Hamas bukan hanya kemenangan sebuah Partai Hamas mengalahkan Partai PLO, tetapi lebih merupakan bentuk kudeta politik, dalam arti yang menang menyingkirkan yang kalah secara total.
Inilah yang menjadikan kedua organisasi perjuangan Palestina ini berhadapan langsung demi eksistensi, bahkan harus dibayar mahal dengan terjadinya bentrok bersenjata dan menelan korban lebih dari 100 orang sesama pejuang Palestina.
Pada 7 Februari 2007 ada perundingan di Kota Makkah atas inisiatif Raja Saudi, Abdullah. Tapi, keadaan tidak membaik, bahkan pada Juni 2007 Hamas dan Fatah saling mengudeta di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Maka, Presiden Mahmoed Abbas membubarkan Pemerintahan Bersatu pimpinan PM Ismail Haniyah dan membentuk pemerintahan darurat di bawah Salam Fayyat. Tetapi, PM Haniyah bersikukuh pemerintahannya masih berkuasa.
Hamas yang menyebarluaskan piagamnya pada 1988 tidak mengakui keberadaan PLO. Piagam itu hanya menyebutkan PLO organisasi perjuangan yang sangat dekat dengan Hamas.
Ini menunjukkan Hamas tak mengakui PLO sebagai satu-satunya organisasi yang mewadahi perjuangan Palestina. Bahkan, Hamas menyatakan tidak bisa menerima PLO sebagai organisasi yang mewakili Palestina karena tidak berasaskan Islam, tapi sekuler.
Maka, Ahmad Yassin sebagai tokoh dan pendiri Hamas menyatakan semua ketentuan yang berisi tentang pengakuan atas Israel tidak bisa diterima. Dia menyatakan PLO tidak merepresentasikan orang Palestina di wilayah pendudukan, tetapi representasi orang Palestina di luar.
Hamas menyatakan diri bergabung dengan PLO dan menuntut 40 persen dari kursi Dewan Pusat PLO. Hamas memberikan syarat PLO harus menganulir pernyataan kemerdekaan yang dilakukan PLO tahun 1988. Syarat lain yang diajukan Hamas adalah Palestina sebagai satu kesatuan mencakup semua wilayah dari laut sampai sungai Yordania.
Kini Hamas terlihat terperangkap pada kondisi di mana PLO waktu itu merasa dirinya sebagai satu-satunya organisasi perjuangan Palestina yang mewakili rakyat Palestina. Sekarang pun Hamas melakukan hal sama. Seperti PLO Hamas merasa dirinya mewakili semua warga Palestina baik yang di dalam maupun di luar sehingga terasa sulit untuk menerima kerja sama dengan organisasi lain.
Sampai di sini terasa bahwa gerakan kemerdekaan Palestina kehilangan para pemikir strategi perjuangan yang mempunyai wawasan jauh ke depan. Para pemikir yang bisa membawa tujuan kemerdekaan Palestina dan bisa menyatukan gerakan-gerakan perjuangan dalam kesatuan gerak.
Ada secercah harapan atas hasil yang didapatkan dari kunjungan Jimmy Carter bulan April 2008 ke negara-negara Arab (Palestina, Israel, Suriah, Arab Saudi, Mesir, Yordania, dan kelompok yang bertikai. Hamas melalui pimpinannya Khalid Mesh’al menerima berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dan menerima hak negara Israel untuk hidup berdampingan secara damai dengan syarat kesepakatan damai itu harus disetujui oleh rakyat Palestina melalui referendum. Tetapi, Hamas menyatakan lebih lanjut bahwa penerimaan ini hanya sebagai masa transisi.
Kekuatan baru
Ada kekuatan baru dalam konflik internal Palestina, yaitu kehadiran Iran setelah Arab Saudi menjauh sejak Perang Teluk tahun 1991. Keterlibatan Iran dalam masalah Israel bukanlah sesuatu yang baru. Meskipun ada lebih dari satu tafsir atau pemaknaan tentang keterlibatan Iran dalam masalah tersebut. Pertama, masalah ideologis.
Secara ideologis Iran memandang bahwa berdirinya negara Zionis Israel di jantung negara-negara Arab Islam merupakan bentuk penyakit yang harus dihilangkan. Akar permasalahan berdirinya negara Israel di Palestina merupakan bentuk kesalahan sejarah dalam memberikan konsesi atas pembantaian yang dilakukan oleh Nazi pada peristiwa Holochaust.
Karena itu, Ahmadinejad melakukan kritik terhadap kesimpulan sejarah Holocaust yang menurutnya ada unsur provokasi dan penggelembungan jumlah korban guna memunculkan empati yang besar terhadap kaum Yahudi sebagai korban Nazi.
Empati ini kemudian dimunculkan sebagai dukungan terhadap orang Yahudi, khususnya pada Zionis yang mendirikan negara di Palestina. Ahmadinejad melihat seandainya orang Yahudi harus mendapatkan ganti rugi, mestinya tidak mendirikan negara di wilayah Arab, tetapi di wilayah Eropa atau di tempat lain, semisal Kenya dan Uganda, dua wilayah yang pernah diusulkan.
Kedua, masalah strategi Iran dalam konflik dengan Amerika. Hal ini dilihat dari strategi Iran untuk memperbanyak kartu yang dimiliki dalam menghadapi politik AS di Timur Tengah.
Iran bukan hanya memiliki hubungan politik strategis dengan beberapa kelompok pejuang Syiah di tempat berbeda, seperti wilayah Teluk khususnya Irak, dan di Lebanon Selatan (Hizbullah). Sekarang ia menjalin hubungan strategis dengan Hamas sebagai partai pemenang pemilu secara sah di Palestina yang mempunyai ideologi sama dalam hal menyikapi keberadaan Israel di Palestina.
Keberadaan Israel sekarang ini bisa diartikan sebagai representasi politik AS di Timur Tengah atau paling tidak semua gerak politik Israel selalu mendapatkan back up tanpa batas oleh AS sehingga mengusik keberadaan Israel, berarti mengusik AS. Dalam kaitan strategi Iran menghadapi AS, Iran melakukan pelebaran wilayah medan konflik dengan AS, bukan hanya di Irak, Lebanon Selatan, tetapi sudah masuk jantung Palestina yang berhadapan dengan Israel. Hal ini membuat konflik AS dan Iran yang diberi simbol pembangkangan Iran terhadap Resolusi PBB atas pengembangan reaktor nuklirnya menjadi lebih rumit dan tidak mudah bagi AS untuk menyelesaikannya.
Dalam poin penolakan terhadap keberadaan Israel di Palestina itu, bertemulah Iran dengan ideologi Hamas yang mempunyai pendapat sama tentang hal itu sehingga tujuan perjuangan Hamas atau harakah muqawwamah Islamiyyah di Palestina ini adalah mendirikan negara Islam Palestina di wilayah Palestina, membentang antara sungai Jordan dan Laut Tengah. Artinya, tidak tersisa sedikit pun tanah untuk Israel.
Titik temu target politik antara Hamas dan Iran ini yang membuat keduanya mudah untuk bersinergi. Di satu sisi, Iran dan Hamas akan sulit untuk bekerja sama dengan PLO yang awalnya merupakan representasi dari mayoritas gerakan perlawanan terhadap pendudukan Israel.
Dukungan Iran terhadap Hamas pun bukan retorika politik sebagaimana diberitakan media. Iran terbukti membantu pemerintahan Ismael Haneyah 50 juta dolar AS di samping bantuan lainnya. Bantuan Iran ini bisa menggagalkan langkah politik Israel terhadap perlawanan Hamas dengan cara membuatnya lapar sehingga politik Israel ini tidak efektif dengan adanya campur tangan Iran, khususnya melalui pemberian bantuan terhadap Hamas tersebut.
Hal ini membuat AS lebih berhati-hati dalam menekan pemerintahan Ismael Haneyah agar tak berakibat pada makin kuatnya pengaruh Iran terhadap Hamas. Dengan masuknya Iran dalam kancah politik Palestina maka makin kokohlah dualisme ideologi gerakan perlawanan terhadap pendudukan Israel, yaitu nasionalisme sekuler (PLO) dan Islam tanpa kompromi (Hamas).
Posisi Indonesia
Berbicara peranan Indonesia terhadap konflik Timur Tengah secara luas, untuk menaikkan pamor politik luar negeri Indonesia, memiliki pijakan yang tidak bisa diremehkan. Dalam arti Indonesia mempunyai beberapa modal, antara lain keberhasilan dalam membantu menyelesaikan masalah Filipina Selatan, masalah Kamboja dan separatisme Aceh.
Di sisi lain banyak negara mempunyai kasus mirip Indonesia, tapi tidak berhasil menyelesaikan, seperti kasus Kurdistan di Turki dan Irak Utara. Oleh karena itu, Indonesia ingin terlibat langsung dalam penyelesaian konflik di Timur Tengah. Tawaran solusi di Irak memang belum mendapat tanggapan serius meski Indonesia pernah mengundang tokoh Sunni-Syiah di Irak, Suriah, Lebanon, dan Iran untuk membicarakan masalah konflik dari sisi ideologi. Adapun langkah nyata lain yang dilakukan Indonesia untuk ikut menyelesaikan konflik di Timur Tengah adalah pengiriman tentara untuk perdamaian di Lebanon Selatan, di bawah bendera Univil.
Setelah dipaparkan kerumitan dan dalamnya perbedaan antarfaksi perlawanan terhadap Israel dan hubungannya dengan negara Israel sebagai sebuah negara di antara negara-negara Arab dan masuknya kepentingan Iran dalam konflik dengan Israel dan AS, Indonesia sebetulnya masih memiliki satu lagi kekuatan, yaitu hubungan baik dan hangat dengan Iran yang tergambar dari kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Iran beberapa waktu lalu sebagai kunjungan balasan terhadap kunjungan Ahmadinejad ke Indonesia sebelumnya.
Di samping itu Indonesia memiliki poin positif untuk Iran karena telah absen dalam pengambilan keputusan DK PBB No 1803 yang memberi hukuman terhadap Iran terkait kasus nuklirnya. Bersama Iran, dalam posisi kasus di Palestina, sesungguhnya Indonesia bisa memainkan peran banyak lagi, apalagi Indonesia sudah telanjur disebut-sebut sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia. Kiprah Indonesia sudah pasti dinanti.( Artikel Dr Muhammad Luthfi Zuhdi, Direktur Pusat Kajian Timur-Tengah dan Islam Universitas Indonesia, Republika 14-15 Mei 2008).