Nabi kembali ke Madinah. Yang membuatnya cemas adalah sepak terjang negeri jiran di sebelah selatan yang dipimpin oleh Heraclius. Beliau pun dengan mulai uzur berteriak agar semua lelaki yang sehat jasmani bersiaga di bawah komando Usamah bin Zaid.
Sementara itu kerajaan Romawi telah mengerahkan brigade pasukan kavelri untuk melakukan pembersihan terhadap warga yang memeluk Islam dalam wilayah kekuasaannya, termasuk gubernur Syam, Farwah bin Amru al-Jazâmi, yang telah lebih dulu mengirim surat kepada Nabi yang bersisikan pernyataan keislamannya. Inilah salah satu alasan pergerakan mesin perang Romawi.
Seruan-seruan Muhammad yang yang menggigil sambil berselimut disambut dengan aksi ‘mogok taat’. Entah kenapa?
Nabi pun secara resmi dinyatakan ‘sakit’ oleh juru bicara Ahlul-Bait, Ali bin Abi Thalib. Meski demikian, instruksi perang melawan agresi Romawi tidak dianulir. Para sahabat di bawah pimpinan Usamah bin Zaid pun secara terang-terangan melakukan aksi mogok perang di al-Jurf dekat Madinah al-Munawwarah, bahkan berenecana meggelar sidang luar biasa dan membentuk pansus akuisisi.
Kamis adalah hari yang paling menyedihkan bagi Fathimah. Betapa tidak, ayahnya yang terbujur lemas dicerabut haknya oleh tetamu tak diundang, para aktor ‘aksi mogok taat’. Suaranya yang parau meminta setangkai pena ditelan koor bergumam bahkan seleroh ‘dia sudah pikun’.
Sebuah mimpi telah mengejutkannya. Ia melihat Quran yang ada di kedua tangannya dan terbang membumbung tinggi ke langit, dan Fathimah pun melihat dirinya terbang di belakangnya. Dan al-Quran itu pun menyeru:
“Terbang mendekatlah padaku. Terbanglah ke langit. Dan Fathimah pun melihat ke belakangnya maka dia melihat bumi bercahaya terang benderang disambar petir dan kilat (halilintar).”
Ia pun mendatangi Nabi di biliknya dengan wajah tegang:.
Ayahku, aku telah melihat Quran terlepas dari tanganku.
Muhammad menjawab dengan suara lemah seakan berbisik
Wahai Fathimah, setiap kali aku menyeru maka dijawablah seuranku itu. Dan sungguh Jibril as telah membacakan al-Quran kepadaku dua kali dalam tahun ini.
Meledaklah tangis Fathimah. Duka kepergian ayahnya telah meremas sukmanya dan menggoyahkan tubuhnya hingga roboh di pelukannya.
Muhammad berusaha tersenyum menghibur Fathimah:
Jangalah engkau bersedih. Bahagialah. Engkaulah Ahlul Bait pertamaku yang akan segera menyusulku..
Paras Fathimah pun kini mulai merona. Fathimah mengusap memeluk tubuh ayahnya seraya berkata:
Aku mengeluh duka darimu ‘duhai hari Senin, sungguh masa kejayaan Islam telah sirna, karena Ali telah mengimani (mempercayai) seorang pria yang dia telah mendidiknya segala intisari akhlah dan kedermawanan semenjak kecilnya dan mengajarinya intisari ilmu ketika dia beranjak dewasa dan membukakan (menyingkap) baginya pintu-pintu alam malakut yang penuh misteri itu. Dan Nabi pun memegangi erat-erat tangan sang pemuda perkasa pahlawan terbesar Islam sepanjang masa yang telah dengan mengorbankan dan menyerahkan ruh dan jiwa raganya hanya untuk Allah dan Rasul-Nya semata. Dan Allah-lah satu-satunya pengawas setiap rahasia yang terpendam.
Daur waktu pun bergulir cepat seiring serangan racun yang merasuk keras ke setiap sel tubuhnya. Muhammad rebah, menyimak kidung malaikat Rahmat menghibur di biliknya yang muram. Lalu suara paraunya meluncur memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.
”Selamat datang untuk kalian semua, mudah-mudahan kalian dibelas kasihi oleh Allah Ta’ala. Saya berwasiat supaya kalian bertakwa kepada Allah, dengan sebenar-benarnya taat kepada-Nya, karena sungguh sudah dekat perpisahan di antara kita, telah dekat pula waktunya kembali kepada Allah Taala yang menempati Surga-Nya.
Kalau sudah datang ajalku, maka kuminta ‘Ali yang memandikan aku, Fudlail bin Abbas yang menuangkan air, dan Usamah bin Zaid membantu mereka berdua. Kemudian kafani aku dengan pakaianku saja manakala kamu semua menghendaki, atau dengan kain Yaman yang putih.”
Ketika kalian sedang memandikan aku, letakkanlah aku di atas tempat tidurku di rumahku ini, yang dekat dengan liang kuburku nanti. Setelah itu kalian keluar sejenak meninggalkan aku. Pertama kali yang mensalati aku adalah Allah Swt, lalu malaikat Jibril, malaikat Israfil, malaikat Mikail, malaikat Izrail beserta pembantu-pembantunya, kemudian dilanjutkan oleh para malaikat semua. Sehabis itu kalian masuklah dengan berkelompok-kelompok, dan lakukanlah salat untukku.”
Dan “Cahaya Kedua” itu pun mengangkasa diiringi armada malaikat utama menemui Kekasihnya di altarnya yang suci. Ruh Muhammad melesat melintasi langit-langit meninggalkan jasadnya di antara pangkuan kedua tangan Ali dan Fathimah serta Hasan dan Husain.
Angin berdesir meniupkan kidung kesedihan memasuki kisi-kisi jiwa Ali dan pendukungnya beriring hiruk pikuk pesta “dagang sapi” sidang darurat di ujung Madinah, pendapa Saqifah.
“Dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”[QS. Ali Imran (3) : 144]