Skip to main content

Mewaspadai ‘Teologi Horor’

By August 23, 20112 Comments

Air mata kita yang mengalir, karena meratapi tragedi tsunami di Aceh gempa di Nias belum juga mengering, tiba-tiba kita dikejutkan oleh sebuah peritiwa peledakan di Poso yang menewaskan lebih dari 20 orang dan melukai lainnya. Berbagai macam reaksi dan kecaman muncul. Seperti biasanya, peristiwa yang terjadi di sebuah pasar yang berdekatan dengan rumah ibadah itupun dikaitkan dengan konflik SARA yang beberapa bulan lalu sempat mencekam kawasan itu. Jelas, aksi teror ini jelas dilakukan oleh musuh semua agama atau paling tidak dilakukan orang yang mengatasnamakan agama secara sadar atau tidak. Syukurlah, semua pemuka agama berinisiatif untuk mengecamnya dan membersihkan agamanya masing-masing dari vandalisme ini. Setelah dikejutkan oleh kekerasaan terhadap kelompok yang berbeda agama, beberapa waktu lalu, kita dikejutkan lagi oleh aksi kekerasan terhadap kelompok minoritas dalam Islam, Ahmadiyah di Parung, Depok. Peristiwa ini sungguh menyesakkan dada. Sungguh ironis, di negara yang menjadikan demokrasi sebagai sistem yang menjamin kekebebasan berpendapat dan beragama, malah terjadi pemaksaan pandangan keagamaan tertentu terhadap anggota masyarakat lain yang berbeda agama maupun aliran. Tentu, fenomena ini menimbulkan kegelisahan dan kekhawatiran di kalangan minoritas agama dan minoritas aliran dalam setiap agama, terutama Islam.

Meski demikian, tak pelak lagi-lagi tema ‘kekerasan atas nama agama’ mencuat ke permukaan. Mungkin sudah banyak analisis yang dikemukakan oleh para ahli tentang kekerasan, namun hampir semuanya menolak kaitan kekerasan dengan teologi. Penulis berusaha untuk menyingkap relasi kekerasan dengan skripturalisme dalam tubuh Islam untuk dijadikan sebagai sebuah hipotesa sederhana.

Pengertian, Cara dan Tujuannya

Sosiolog dan kriminolog terkenal asal Norwegia, Johan Galtung, mendefiniskan ‘kekerasan’ sebagai “serangan atau penyalahgunaan fisik terhadap seseorang atau binatang; atau serangan, penghancuran, perusakan yang sangat keras, kasar, kejam, dan ganas atas milik atau sesuatu yang secara potensial dapat menjadi milik seseorang” .

Menurutnya, kekerasan meliputi semua bentuk tindakan yang dapat menghalangi seseorang untuk “merealisasikan potensi diri-nya” (self-realization) dan “mengembangkan pribadinya”(personal growth), yang merupakan jenis hak dan nilai manusia yang paling asasi.

Secara umum, dari bentuk dan karakter para pelakunya, kekerasan dapat dibagi ke sejumlah dimensi, antara lain:

1). Kekerasan fisiologis (fisikal), yaitu agresi terhadap sasaran fisik demi mematuhi pemimpin, atau karena perspesi yang diyakini sebagai mulia, seperti pengemboman yang mengakibatkan tewas, luka dan kerusakan bangunan serta sarana umum. Tujuannya ada kalanya bersifat psikologis, seperti balas dendam, fisiologis seperti pembakaran hutan karena akan dijadikan lahan kembali, dan ada kalanya bersifat, dan ada kalanya bersifat idealogis bahkan teologis, seperti terikat baiat, menguji kepatuhan kepada pemimpin yang diagungkan dan sebagainya.

2). Kekerasan psikologis, yaitu agresi terhadap jiwa dan mental sasaran demi balas dendam dan lainnya, seperti ancaman via telepon, surat kaleng, penyekapan dan sebagainya yang menimbulkan trauma, kepanikan dan ketakutan. Tujuannya juga bisa psikilogis, seperti balas dendam, bisa bersifat fisiologis seperti mendapatkan imbalan harta, dan bisa pula bersifat ideologis dan teologis seperti kepatuhan atau keterikatan pada sebuah baiat yang telah disakralkan dan dipastikan sebagai ‘satu-satunya jalan yang benar’

3). Kekerasan intelektual, yaitu agresi dengan menggunakan argument, retorika dan analisis, seperti konspirasi, pembunuhan karakter dan pengaburan fakta melalui retorika, menacari celah-celah hukum bagi penjahat, rekayasa dan pembentukan opini tandingan dengan sarana media dan sebagainya. Tujuannnya juga bervariasi, kadang fisiologis, kadang psikologis dan kadang –bahkan sering- bersifat ideologis dan teologis.

4). Kekerasan teologis-keagamaan, yaitu agresi terhadap sasaran tertentu dengan pembenaran agama atau mazhab demi mencapai tujuan yang diyakini sebagai sebuah ‘kepatuhan’, pendangkalan arti jihad, amar makruf, perang suci, penyesatan terhadap kelompok agama tertentu melalui provokasi selebaran atau dari mulut ke mulut yang bertujuan mendiskerditkan kelompok agama dan mazhab tertentu berdasarkan pemahaman sepihak terhadap dalil dan teks tertentu.

5). Kekerasan ekonomi, yaitu tindakan pengahancuran terhadap sasaran plural bahkan tidak tertentu dengan menggunakan cara korupsi, penyuapan, nepotisme, tender palsu, pemerasan, kolusi, monopoli, dan sebagainya Biasanya tujuannya bersifat fisiolois (baca: harta).

6). Kekerasan kriminial, yaitu agresi yang telah dapat dikenai sanksi undang-undang dan hokum postif, seperti pemerkosaan terhadap aktivitas illegal oleh aparat kotor, penggunaan psikotropika, perampokan, pengoplosan minyak solar dan sebagainya. Ada kalanya tujuan pelakunya bersifat psikologis, meski kadang pula tujuannya bersifat akumulatif dan kolektif..

7). Kekerasan politik, yaitu agresi terhadap orang atau kelompok lain demi mecapai tujuan kekuasaan dan demi mempertahankan kekuasaan, seperti pembodohan dengan janji-janji palsu melalui kampanye, mengalihkan perhatian masyarakat dari sebuah skandal korupsi, memonopoli interpterasi undang-undang, menyuap agar diloloskan sebagai kandidat bupati, dan sebagainya.

Sasaran-sasaran Kekerasan
Dalam artikel lainnya yang lebih mutahir, Galtung membedakan delapan jenis tindak kekerasan berdasarkan objek-objeknya yang berbeda-beda;
1. Kekerasan terhadap alam yang ia sebut sebagai ecological crimes;
2. Kekerasan terhadap diri sendiri, seperti stres, bunuh diri, alkoholisme dan sejenisnya;
3. Kekerasan terhadap keluarga, seperti “child abuse” dan “woman abuse”, yang dilakukan melalui pengungkapan fisik maupun verbal;
4. Kekerasan terhadap individu, seperti pencurian, perampokan, pemerkosaan dan pembunuhan;
5. Kekerasan terhadap organisasi yang dalam pengungkapannya dapat berupa korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan;
6. Kekerasan terhadap kelompok, meliputi berbagai bentuk kekerasan antar kelompok, antar kelas dan antar bangsa;
7. Kekerasan terhadap masyarakat, berupa perang dan penindasan antar bangsa atau negara;
8. Kekerasan terhadap dunia lain, berupa kekerasan antar planet.

Galtung memasukkan kekerasan ketiga sampai keenam, dalam sistem pencatatan dan pelaporan nasional, dikenal sebagai tindak kejahatan.

Kekerasan yang lebih keji adalah yang tidak memilih sasaran tertentu, karena yang menjadi sasaran utama bukanlah korban yang tewas atau yang terluka, namun pihak lain yang akan terganggu oleh jatuhnya korban. Umumnya, pelaku telah didoktrinasi bahwa ‘perjuangan akan memakan korban’ yang dijadikan sebagai justifikasi. Karena itu, peledakan di rumah ibadah, pasar dan tempat umum atau penyanderaan warga sipil tergolong kekerasan yang acak dan tidak dapat dideteksi oleh aparat intelejen, apalagi tidak didukung dengan SDM yang handal dan fasilitas yang memadai.

Pelaku dan Sumber Kekerasan

Lalu, darimanakah datangnya kekerasan? Filosof Thomas Hobbes melihat kekerasan sebagai produk dari “keadaan alamiah” manusia sebagai “homo homini lupus”. Ia mengungkapkan bahwa manusia berkarakter srigala. Sedangkan Jean Jaques Rousseau yang melihat kekerasan tersembunyi dalam rantai peradaban manusia. Peradaban inilah yang membentuknya menjadi binatang saling menyerang sesamanya. Mulla Sadra membagi manusia dalam tiga dimensi; ruh sebagai entitas abstrak yang tidak memiliki kekurangan, jiwa sebagai entitas semi material dan immaterial yang berposisi interval dengan sifatnya yang fluktuatif, dan raga sebagai entitas material murni yang memiliki segala kecenderungan-kecenderungan bendawi. Bila jiwa mengikuti sistem raga, maka, ia akan mencari kesenangan, kenyaman, kebabasan dan kerakusan sebagai tujuan kesempurnaannya. Namun, bila jiwa mengikuti sistem ruh, maka ia akan mencari kebenaran, kebaikan, kepatutan, keindahan dan kesempurnaan.

Kekerasan dan Agama

Apa hubungan antara dan agama? Francois Houtart sejak semula enggan memastikan apakah kekerasan (violent) terkandung dalam agam ataukah tidak. Sebab menurutnya, dalam kenyataannya, akar kekerasan bisa ditemukan. Ekspansi yang dilakukan terhadap bangsa lain dengan dalih ‘pemabebasan”, dianggapnya sebagai indikator akan adanya hubungan antara agama dan kekerasan secara faktual.

Salah satu dari manifestasi kekerasan struktural adalah kekerasan politik bernuansa agama yang diganti dengan sejumlah terma yang berkonotasi negatif, seperti fundamentalisme, terorisme, radikalisme dan fanatisme.

Fundamentalisme, sebagaimana dikatakan Karen Armstrong, merupakan salah satu fenomena paling mengejutkan di akhir abad 20. Ekspresi fundamentalisme ini terkadang cukup mengerikan. Para fundamentalis menembaki jamaah yang sedang salat di masjid, membunuh dokter dan perawat dalam klinik aborsi, membunuh presiden, dan bahkan mampu menggulingkan pemerintahan yang kuat. Fundamentalisme dan kekerasan agama merupakan isu paling hangat belakangan ini dalam wacana percaturan global yang mendorong kita untuk melakukan kajian terhadap dua persoalan ini.

“Fundamentalisme identik dengan kekerasan”. Inilah stereotip yang dilestarikan Barat selama berabad-abad. Islam fundamentalis adalah penyebab terjadinya berbagai tindakan kekerasan, bom bunuh diri, pembunuhan, pembantaian, peperangan dan penghancuran. Doktrin perang suci atau jihad yang menjadi keyakinan yang diusung fundamentalisme memperkuat stereotip itu. Benarkan fundamentalisme identik dengan kekerasan? Adakah kaitan antara fundamentalisme dengan kekerasan agama?

Fundamentalisme (agama), menurut J.J. Tamayo-Acosta dicirikan sebagai sikap memaksakan (bahkan dengan kekerasan) agama dan kepercayaannya kepada seluruh umat manusia. Kitab Suci adalah motor penggerak. Ia ditafsir (atau lebih tepat diterapkan) secara hurufiah, tanpa mempertimbangkan arti hermeneutisnya berupa aktualisasi pesan untuk situasi kini .

Sebenarnya, Fundemantalisme adalah produk made in America. Kata ini diduga pertama kali digunakan di AS pada 1920-an, menyusul terbitnya rangkaian dua belas jilid buku The Fundamentals dari tahun 1910 ke atas. Buku ini memuat sembilan puluh artikel yang ditulis oleh berbagai teolog Protestan yang menetang kompromi apapun dengan modernisme di sekitarnya. The Fundamentals dibiayai oleh dua pengusaha bersaudara. Lebih dari tiga juta eksemplar buku itu dibagikan secara grartis. Tetapi istilah “fundamentalisme” dimunculkan dalam kosa kata Amerika terutama oleh “kasus Scopes”. Kasus inilah yang sejak awal menobatkan konotasi kontroversial bagi kata itu. John T. Scopes adalah guru biologi muda di sebuah sekolah di Tennessee. Di kelas dia mempergunakan buku teks yang berisi referensi evolusi spesies. Hal itu merupakan pelanggaran hukum negara yang melarang mengajarkan “teori apapun yang menolak kisah penciptaan manusia”.

Fundamentalisme—yang sering dianggap sebagai sumber kekerasan politik atas nama agama—dipahami sebagai bentuk pemikiran sempit (narrow-minded), bersemangat secara berlebihan (ultra-zealous) atau cenderung ingin mencapai tujuan dengan menggunakan cara-cara kekerasan-memang bukan pilihan menjanjikan, karena ia tidak menyisakan ruang lapang bagi orang lain untuk melihat dan belajar dari dan terhadap yang dipandang berbeda keyakinan, agama dan mazhab atau sekte.

‘Teologi Horor’ dan Fundamentalisme

Sebagaimana telah diketahui, bahwa selain Ahlussunnah dan Syiah, terdapat aliran baru yang disebut dengan Wahabiah. Aliran ini didirikan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb dari keluarga klan Tamîm yang menganut mazhab Hanbali. Ia lahir di desa Huraimilah, Najd, yang kini bagian dari Saudi Arabia, tahun 1111 H [1700 M] Masehi dan meninggal di Dar’iyyah. tahun 1206 H [1792 M.]. Ia sangat terpengaruh oleh tulisan-tulisan seorang ulama besar bermazhab Hanbali bernama Ibnu Taimiyah yang hidup di abad ke 4 M.. Untuk menimba ilmu, ia juga mengembara dan belajar di Makkah, Madinah, Baghdad dan Bashra [Irak], Damaskus {Siria], Iran, termasuk kota Qum, Afghanistan dan India. Di Baghdad ia mengawini seorang wanita kaya. Ia mengajar di Basra selama 4 tahun Tatkala pulang ke kampung halamannya, ia menulis bukunya yang kemudian menjadi rujukan kaum pengikutnya, Kitâbut’Tauhîd . Para pengikutnya menamakan diri kaum Al-Muwahhidûn (para pengesa Tuhan). Ia kemudian pindah ke ‘Uyaynah. Dalam khotbah-khotbah Jumat di ‘Uyaynah, ia terang-terangan mengafirkan semua kaum Muslimin yang dianggapnya melakukan bid’ah [inovasi], dan mengajak kaum Muslimin agar kembali menjalankan agama seperti di zaman Nabi.

Di kota ini ia mulai menggagas dan meletakkan teologi ultra-puritannya. Ia mengutuk berbagai tradisi dan akidah kaum Muslimin, menolak berbagai tafsir Al-Qur’ân yang dianggapnya mengandung bid’ah atau inovasi. Mula-mula ia menyerang mazhab Syiah, lalu kaum sufi, kemudian ia mulai menyerang kaum Sunni Itu sebabnya, tatkala pemerintah Saudi ‘terpaksa’ menggunakan telepon, TV, radio dan lain-lain, kaum Wahhabi ini melakukan perlawanan keras. Tetapi hadis-hadis yang mewajibkan Muslim taat pada pemerintah yang baik maupun yang fasik yang banyak sekali jumlahnya, digunakan pemerintah untuk menahan dan menganggap mereka sebagai pembangkang bahkan teroris.

Tatkala masyarakat mulai merasa seperti duduk di atas bara, ia diusir penguasa [amîr] setempat pada tahun 1774.Ia lalu pindah ke Al-Dar’iyyah, sebuah oase ibu kota keamiran Muhammad bin Sa’ûd, masih di Najd Tahun 1744 Muhammad bin Su’ûd, amir setempat dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb saling membaiat untuk mendirikan negara teokratik dan mazhabnya dinyatakan mazhab resmi Ibnu Su’ûd sebagai amîr dan Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb jadi qadi. Ibnu Su’ûd mengawini salah seorang putri Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb.
Penaklukan-penaklukan dilakukan terhadap para kabilah dan kelompok yang menolak mazhab mereka, termasuk Makkah dan Madinah dan akhirnya bentuk pemerintahannya berubah dari emirat menjadi kerajaan Saudi Arabia sejak tahun 1932 sampai sekarang. Sebagai akibat dari ajarannya yang eksterim, pada bulan April tahun 1801, kaum Syî’ah dibntai di Karbalâ’.
Setelah lebih dari 100 tahun kemudian, kekejaman itu masih juga dilakukan. Tatkala mereka memasuki kota Thâ’if tahun 1924, mereka menjarahnya selama tiga hari. Para qadi dan ulama diseret dari rumah-rumah mereka, kemudian dibantai dan ratusan yang lainnya dibunuh

Satu keyakinan: Utopia abadi

Akhirnya, memaksakan “satu Islam” kepada semua penganut Islam yang terpencar dalam berbagai mazhab dan pandangan tentulah menyalahi watak toleransi Islam. Obsesi seseorang atau suatu kelompok terhadap yang “satu” hanya mungkin dilakukan lewat pemaksaan, seringkali lewat kekuasaan senjata, dan tindakan ini menyalahi konsepsi Islam yang dasar. Dengan kata lain, menginginkan ‘satu pemahaman tentang Islam’ adalah utopia dan anarkisme!

Seandainya kekerasan struktural yang ‘menenteng’ jargon agama, tidak ditentang, maka kita akan memasuki babak kehidupan yang sangat mencekam. Bumi kita akan berubah menjadi hutan belantara dan rumah-rumah kita bagai rumah hantu. Karena itu kita harus menentang teologi horor yang belakangan ini mulai disemburkan oleh sekelompok penjagal-penjagal sesama muslim atas nama Sunnah dan Salaf. Masjid-masjid kaum minoritas berubah menjadi ladang penjagalan dan mimbar-mimbar masjid dijadikan sebagai pusat pengkafiran sesama umat Muhammad! Di sejumlah negara, sekelompok Muslim lain menjadi beringas dan sadis terhadap kelompok Muslim lain hanya karena berbeda dalam cara shalat! Beberapa waktu lalu sebuah pesantren di Jawa Tengah diserbu oleh sekelompok massa yang diprovokasi oleh kelompok yang berlagak sebagai ‘polisi agama’ sehingga menimbulkan kerugian psikologis, fisik dan sebagainya.

Apa jadinya bila negosiaasi digusur oleh konfrontasi, argumentasi dibalas teror, dan dialog diubah dengan fatwa murtad! Tidakkah semestinya energi dan semangat anti terhadap minorias agama dan mazhab diubah menjadi semangat penolakan terhadap kezaliman yang dilakukan oleh para koruptor yang telah menggerogoti bangsa ini tanpa sedikitpun rasa malu?
Indonesia ini adalah hasil perjuangan semua penganut agama dari beragam sekte. Mengapa sikap santun dan toleran –yang dulu menjadi alat promosi pariwisata kita- kini seakan lenyap? Ada apa dengan bangsa ini?