MINDSET

MINDSET
Photo by Unsplash.com

MINDSET

Sabtu malam adalah saat yang paling menyenangkan buat karyawan seperti aku karena membayangkan hari Senin masih cukup jauh. Kali ini agendaku mengunjungi rumah teman. Tanpa maksud berbasa-basi, aku memuji rumahnya yang lumayan bagus. Ada rumput yang terhampar rapi menghiasi beranda ruang tamu. Alhasil, ia mirip iklan perumahan yang selalu diberi kata ‘indah’, ‘permai’, ‘asri’, dan derivatnya.

“Aku mau pindah dan mencari rumah lain,” katanya singkat seakan menangkis pujianku. Pada detik pertama aku menganggapnya bergurau. Tapi mataku tak menemukan tanda-tanda itu di parasnya. Saat kutanya alasannya, jawabannya membuatku terkejut. “Aku akan mencari rumah yang jauh dari musalla,” katanya.

“Mengapa kau membeci musalla?” Atau… jangan-jangan kau sudah pindah agama?” cecarku penasaran.

“Oh tidak,” tepisnya.

“Lalu, apa alasanmu mencari rumah yang jauh dari musalla?”

“Keluargaku sangat tergangggu oleh suara bising yang terus-menerus mengumandang dari laud speaker musalla yang bersebelahan dengan rumah kami. Kau tahu kan, anakku sampai sekarang masih dalam perawatan dokter karena penyakit bawaannya. Musalla hampir seperti Masjidil-Haram yang seakan tidak pernah membiarkan microphone beristirahat beberapa jam, mulai dari azan dengan suara kencang, dan sama sekali tidak merdu; kasidah-kasidah yang itu-itu juga; hingga pengajian-pengajian dengan suara lantang setiap malam hingga larut. Pada bulan-bulan tertentu, musalla itu seperti bandara internasional yang beroperasi 24 jam. Nah, bagaimana aku bisa merawat anakku agar bisa segera sembuh dan mengejar ketinggalannya dalam pendidikan, kalau gempuran sound system terus membuatnya tidak bisa beristirahat?”

Aku menyimak.

“Dulu aku membeli rumah ini karena ingin merasakan sejuknya aura spiritual yang memancar dari musalla di dekatnya. Sekarang aku menganggapnya sebagai bangunan yang diisi oleh orang-orang yang kaya simbol tapi miskin isi.”

Selanjutnya kami berdua terlibat dalam diskusi serius tentang relasi antara keyakinan dengan segala perilaku penganutnya, Bagaimanakah cara yang benar menyusun sebuah keyakinan? Apa itu percaya? Lalu, samakah arti “Saya percaya kepadamu” dengan “Saya percaya bahwa perkataanmu benar”? Manakah yang mesti menjadi sumber sikap percaya? Isi ajarannya ataukah sosok penyampainya dan penganutnya?

Menurut kaidah logika, ‘percaya bahwa’ adalah sikap percaya yang secara primer mengacu kepada isi. Sedangkan ‘percaya kepada’ mengacu kepada sosok pembuat pernyataan.

Bila suatu saat kita mengucapkan, “Saya percaya kepada anda,” maka ‘kepercayaan’ dalam pernyataan ini berarti, ‘saya mempercayai anda,’ atau ‘saya mengandalkan anda’, atau ‘saya sreg dengan anda’, yang tidak berkaitan dengan kepercayaan itu sendiri. Inilah yang disebut “kepercayaan subjektif”.

Betapa banyak orang membangun keyakinan tentang segala sesuatu, terutama agama, dengan didasarkan atas ‘kepercayaan kepada’ atau keberpihakan terhadap pemberita atau sosoknya, bukan isi beritanya terlebih dulu. Kepercayaan psikologis demikian hanya akan melahirkan kultus, pemujaan, dan fanatisme yang berjarak beberapa mil dari ranah rasio. Akibat ‘terlanjur’ percaya kepada figur, seseorang kehilangan sikap kritis dan objektivitas dan terjerembab ke dalam fanatisme. Seseorang yang tidak bisa membedakan dua cara percaya akan mudah terperosok ke dalam sikap ektrem. Ketika tidak menemukan ajaran sebuah agama terefleksikan pada perilaku para pengklaimnya, ia dengan mudah mengalami ‘gagal-iman’ stadium 3.

Kepercayaan kepada sebuah ajaran mesti lebih dulu didasarkan atas isi dan rasionalitas substansinya, bukan pada penyampainya apalagi perilaku para pengklaimnya.

Umumnya seseorang yang mengistirahatkan nalarnya dalam masalah agama, karena merasa sulit dan memakan waktu, memilih salah satu dari tiga cara sebagai berikut.

Pertama, ia akan menyerahkan soal penentuan benar dan salah kepada seseorang karena bermacam alasan (tidak logis), seperti kedekatan pribadi, terpesona pada paras dan bahasa tubuh, sugesti, isyarat mimpi, wangsit, rumus astrologi, arah angin atau alasan-alasan klise lainnya. Inilah figure minded.

Kedua, ia menjadikan hal-hal kasustik, sporadis, dan parsial sebagai dasar sebuah kesimpulan general. Misalnya, hanya karena kesal dengan sopir metromini, ia membenci semua sopir metromini. Mungkin minor minded bisa menjadi sebutan yang cocok.

Ketiga, ia mengambil pendapat yang telah terkemas atau yang pertama kali diterima, daripada bersusah payah untuk merangkai keyakinan dari akumulasi kesimpulan yang diperoleh lewat pencarian.

“Kenalilah dulu kebenaran, niscaya kalian menemukan orangnya,” kata Ali bin Abi Thalib.

Baca juga:

HIDUP TAPI MATI DAN MATI TAPI HIDUP

"HARUS" ANTARA RETORIKA DAN FAKTA

Read more