MONDOK LAGI

MONDOK LAGI
Photo by Unsplash.com

Betapa bahagia saat dua putra saya menyatakan ingin melanjutkan pendidikan di pesantren YAPI Bangil. Penyebab utama kebahagiaan ini bukan pesantren, tempat yang merupakan bagian penting dalam etape-etape krusial hidup saya sejak usia dini hingga remaja sebagai santri dan 10 tahun setelahnya sebagai guru tapi keinginan untuk "mondok" adalah keputusan otonom kedua remaja itu, bukan keputusan prerogatif saya sebagai ayah dan walinya.

Daur masa bergulir dengan perubahan evoluisioner dan akselerasi kecepatan yang tak terduga. Dulu saya menjadi santri karena situasi determinan dengan segala pernik cerita suka dan lukanya. Menjadi santri, dulu, dikategorikan sebagai opsi terakhir dan pesantren diberi stigma "tempat pembuangan" anak-anak nakal, korban konflik rumahtangga dan anak nirprestasi.

Kini, saat internet menjadi takdir zaman yang menyandera kehidupan nyata manusia modern dan ketika media sosial menerjang batas-batas norma humanitarian serta menjungkirbalikkan parameter dan paradigma kehidupan sosial, aksi penyelamatan perlu dilakukan secara radikal demi mengembalikan norma agama dan spiritualitas yang tersisa.

Sebuah lingkungan yang lebih berjarak dengan rezim 4.0 dengan aturan-aturan yang mungkin sedikit represif dan tegas dapat dianggap sebagai benteng pertahanan paling aman bagi generasi millenial yang telah dimangsa oleh corporasi-corporasi raksasa pencipta Artificial Intelligence yang menjadi penguasa data dan pengendali rasa dan citra setiap homo sapien yang terkungkung dalam fitur-fitur yang terus diupadate dan aneka game online yang tiba-tiba menjadi global life style dan komunikasi tanpa batas yang menjadi one culture.

Setiap orangtua tentu ingin anaknya lebih baik dari dirinya karena anak bisa menjadi penghapus kekecewaan, penebus kesalahan dan pembalut penyesalan masa lalu yang tak searah keinginan dan cita-cita.

Saya berimakasih kepada para pejuang pendidikan terutama teman-teman segenerasi saya yang telah membuat saya terharu dan merasa mondok mengenang seorang bocah pemurung menikmati aurora bayang sakral mahaguru, Ustadz Husain Alhabsyi, ayah batin tak tergantikan.

Semoga dua remaja itu bisa memperbaiki rapot buruk ayah mereka. Amin.

Read more