Money Politics: Bisnis Suara Rakyat

Money Politics: Bisnis Suara Rakyat
Photo by Unsplash.com

Di beberapa media diberitakan bahwa beberapa mantan kandidat cawagub menagih uang ‘mahar’ yang telah disetorkannya ke partai penjaringnya. Mayjen purn Slamet Kirbiyantoro dikabarkan telah menyetorkan Rp 1,5 miliar ke PDIP selama proses penjaringan cawagub DKI. Sedangkan Mayjen purn Djasri Marin telah menghabiskan Rp 2 miliar selama mengikuti mekanisme penjaringan cawagub DKI di PDIP dan PPP. Pengakuan yang sama pun disampaikan Mayjen purn Asril Tanjung. Ketiganya menyatakan akan menagih kembali dana yang telah dikeluarkannya ke PDIP dan parpol lain di Koalisi Jakarta. Tentu, partai yang ditagih membantah hal itu.

Terlepas dari benar atau tidaknya berita di atas, betapa di tengah keprihatinan yang tak kunjung lenyap, cita-cita reformasi kian jauh dari kenyataan. Korupsi di departemen dan BUMN kian merajalela dan politik uang makin membuat dada sesak. Suap telah menjadi budaya dan gaya hidup, bahkan dianggap sebagai bagian dari prosedur dan administrasi.

Tumbangnya rezim Orba tidaklah berarti bahwa rezim Orba sudah habis. Wacana reformasi yang kerap didengungkan sejak jatuhnya rezim Orba hingga sekarang tidak lantas memberikan hasil yang positif bagi rakyat banyak. Ternyata wacana reformasi kini hanya menjadi retorika Reformasi kini telah menemui jalan buntu. Keadaan ekonomi Indonesia tidaklah menjadi lebih baik, bahkan dari hari ke hari negara kita yang tercinta seolah mengalami musibah yang tidak ada habis-habisnya. Raja-raja kecil di kabupaten dan kotamadya—berkat ‘otonomi daerah’ yang prematur—bergentayangan. Korupsi dengan berbagai variannya pun berkecambah terutama menjelang pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati sampai Lurah dan Kepala RW. Ada banyak istilah seputar modus operandi suap dalam peta politik di Indonesia.

Pertama, ‘Serangan Fajar’. Sebenarnya, pada era Soeharto, ada sebuah istilah lain yang memilikmi pengertian sama, yaitu“serangan fajar”. Dalam operasi tersebut segenap aparat desa dan kader Golkar menjelang subuh pada hari pemungutan suara mendatangi rumah penduduk satu persatu dengan menawarkan imbalan uang atau ancaman represi dengan juru gertak dari Babinsa, Koramil dan Kodim agar mencoblos tanda gambar Golkar.

Kedua, ‘Influence buying’. Praktek beli pengaruh (influence buying), adalah sebuah tindakan ilegal yang dilakukan kandidat atau partai politik dengan ‘membeli’ tokoh masyarakat seperti pemuka agama dan pemuka adat untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politik mereka. Dalam kondisi ketika pemilu dilakukan secara langsung, sebagaimana dalam pemilihan kepala daerah nanti, praktek pembelian pengaruh akan lebih efektif digunakan daripada pendekatan beli suara.

Ketiga, ‘Bantuan relijius’. Di samping operasi “serangan fajar” pada subuh hari H, Golkar juga tak segan-segan menggunakan uang untuk mempengaruhi para saksi dan segenap aparat penyelenggara pemilihan umum untuk melakukan segala-galanya demi kemenangan partai pemerintah. Menjelang pemilihan umum, para petinggi pemerintah, yang juga menjabat sebagai fungsionaris Golkar, rajin berkunjung ke pondok pesantren untuk membagi-bagikan uang dan bantuan lain dengan harapan agar para kyiai dan segenap santri mereka bersedia mendukung Golkar. Ada yang memenuhi dengan setengah hati, dan ada yang secara sadar ingkar janji.

Kini menjelang pilgub, biasanya para calon aktif menghadiri acara-acara keagamaan, mulai dari maulid permenen yang rutin sampai acara maulid kelilingan dan majelis taklim insidental (hanya selama pilgub saja). Biasanya, cabug mendermakan ‘sumbangan’.

Keempat, Money Politics. Istilah ‘money politics’ (politik uang) baru menjadi populer di Indonesia padapertengahan 90-an, yang menandai tumbangnya rezim Orba Soeharto. Ketika itu skandal Bank Bali terbongkar dan melibatkan sejumlah fungsionaris Partai Golongan Karya. Money politics kini merupakan istilah yang berarti penggunaan uang untuk membeli dukungan politik melalui transaksi jual beli suara. Uang yang digunakan untuk menjualbelikan dukungan politik biasanya bersumber pada negara.

Kelima, Intertaining Penyelanggara Pemilu. Pembelian penyelenggara pemilu adalah tindakan ilegal oleh kandidat atau partai politik demi mempengaruhi proses pemilu dan hasilnya dengan menyuap para penyelenggara pemilu, dari tingkat desa, kecamatan, kelurahan, dan seterusnya, serta pengawas pemilu untuk melakukan praktek-praktek curang seperti menggandakan jumlah pemilih, memasukkan surat suara ilegal, membatalkan suara sah, dan memanipulasi perhitungan suara. Sesungguhnya praktek ini sangat berbahaya karena dapat mempengaruhi independensi penyelenggara pemilu, sekaligus dapat menelikung aspirasi pemilih yang seharusnya dicerminkan dari pilihan politik mereka pada saat mencoblos.

Keenam, ‘Mahar’ (Beli kursi, Seat buying). Menjelang Pemilihan Gubernur DKI, sebuah istilah relijius yang identik dengan pernikahan pun mendadak laris manis. Sejumlah media mengangkat isu mahar di balik penjaringan nama cagub dan cawagub DKI. Mislanya, sejumlah mantan kandidat cawagub menagih kembali mahar yang telah disetor ke sejumlah partai agar lolos pencalonan.

Para kandidat yang ingin menjadi pejabat publik, seperti anggota DPR/DPRD, presiden, ataupun kepala daerah, dengan kekuatan uang dan koneksinya dapat memesan jatah kursi nomor wahid. Praktek ilegal ini akan tumbuh subur jika penentuan kandidat pejabat publik hanya boleh dilakukan oleh partai politik, tanpa memberikan peluang bagi kandidat independen untuk turut serta sebagai rival dalam kompetisi politik. Apalagi jika mekanisme pemilu internal partai, semisal konvensi, juga tidak membuka kesempatan bagi masyarakat (konstituen) untuk terlibat dalam pengambilan keputusan pada saat menentukan calon yang akan mewakili partai.

Dalam literatur Islam klasik, istilah-istilah ‘jorok’ diatas tidak dijelaskan secara eksplisit dan rinci. Yang dibahas dalam fikih Islam adalah cara pengelolaan uang. Meski demikian, apapun istilahnya dan sebanyak apapun variannya, semua tindakan diatas dapat disingkat dengan satu kata ‘suap’.

Menurut hukum agama, suap, sebagai perbuatan mempertukarkan Allah (baca: Kebenaran dan Keadilan) dengan suatu yang bersifat mater. Agama sangat mengecam tindakan ini dapat menimbulkan kerugian material maupun sosial. Akibat suap yang diterima seorang hakim, jaksa dan aparat penegak hukum, vonis bisa dipesan dan mengalahkan pihak yang berhak. Dengan suap untuk seorang penguasa, pengusaha culas bisa menang tender dan melakukan ekspor fiktif dengan jutaan dolar. Membayar uang ‘mahar’, jabatan lurah, bupati, gubernur atau presiden bisa dipegang oleh monster.

Dalam Islam, kepentingan publik, terutama lapisan bawah merupakan kepentingan Allah. Karena praktek suap secara nyata berlawanan dengan prinsip pemihakan pada kebenaran dan keadilan sebagai kepentingan bersama, maka Allah benar-benar telah menyatakan kutukan atasnya. Nabi bersabda, “Allah mengutuk pemberi dan penerima suap.”

Fenomena kesadaran ritual dan simbol Islam menunjukkan grafik yang meningkat mulai maraknya pemungutan pembangunan masjid, membludaknya bisnis konsltasi spiritual, ramainya majelis taklim, dan perayaan hari besar dan bertambahnya jumlah jamaah haji Indonesia meskipun biayanya paling mahal sampai maraknya bisnis sms ucapan sejuk ustad kondang. Namun, ironisnya, peningkatan grafik ibadah formal itu tidak diimbangi dengan grafik peningkatan moral dan ibadah sosial.Indonesia, yang merupakan negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, menduduki peringkat teratas di Asia dan peringkat ketiga di dunia dalam bidang korupsi.

Meski bukan satu-atunya pihak, pemerintah dan pemegang kekuasaan adalah pihak yang paling bertanggungjawab bila terjadi kerusakan sosial di tengah mayarakat. Pemerintahan yang bersih adalah pemerintah yang melakukan pengelolalaan aset negara, pemerataan ekonomi, distribusi hasil pajak, pembuatan fasilitas-fasilitas umum, administrasi yang rapi, pemberantasan in-efesiensi, penyalahgunaan dan korupsi; “Masyarakat dalam semua tugasnya mendapat jaminan baitul-mal dan berhak atasnya.”(Nahjul Balaghah, surat ke 53).

Petuah agung ini nampaknya mulai diterapkan di Iran. Jam emas yang dihadiahkan oleh Amir Emirat kepada rombongan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, ketika berkunjung ke negeri kaya itu, ditarik oleh pemerintah dan dikategorikan sebagai harta Baitul Mal. (copyright majalah dwimingguan ADIL, www.adilnews.com)

Read more