MUALLAF
Muallaf adalah sebutan bagi muslim baru alias mantan penganut agama non Islam. Kata lengkapnya adalah "almuaIlafah qulubuhum" (orang yang hatinya telunakkan). Belakangan ini seiring dengan menguatnya relijiusitas simbolik dan intoleran, panggung tablig online dan offline dimarakkan oleh muallaf yang menyudutkan agama yang tak lagi dianut. Karena kesaksian muallaf dianggap sebagai bukti kebenaran agama yang baru dianut, publik yang mabuk dengan relijiusitas intoleran menyambut kehadiran mubalig muallaf over acting dengan gegap gempita.
Umumnya mantan penganut sebuah agama disanjung bahkan ditampilkan sebagai tokoh agama yang baru dianutnya. Bak “pemain naturalisasi” yang kadang menggeser pemain hasil didikan klub sendiri, ia bisa mendadak agamawan yang lebih tenar dari yang asli.
Fenomena kehebohan dan euforia kepada “mantan” ini sering membuat nalar kritis rabun dan khalayak tenggelam dalam pemujaan, apalagi bila sang mantan sadar pasar. Ini jelas tidak mendukung toleransi dan sikap saling menghormati antar sesama masyarakat beragama.
Sebagian orang berganti keyakinan karena nikah dengan pasangan beda keyakinan, menggenjot popularitas di tengah publik yang berbeda keyakinan atau faktor-faktor yang tak berhubungan dengan ajarannya. Tidak sedikit fakta yang mengungkap alasan kepindahan adalah mencari pengakuan sosial karena dianggap sebagai “persona non grata” di komunitas keyakinan sebelumnya.
Bertambahnya penganut baru bukan parameter ajek kesadaran positif dan indikator pasti membaiknya citra keyakinan. Justru penganut baru yang bermasalah bisa menimbulkan persoalan baru. Tidak tertutup kemungkinan adanya tendensi-tendensi terselubung di baliknya.
Selain itu, boleh jadi jumlah yang meninggalkannya secara eksplisit dan implisit (akibat kekecewaan terhadap prilaku dan sikap pemuka-pemukanya) sebanding dengan jumlah yang baru masuk.
Pindah keyakinan saat ini bukanlah sesuatu yang kolosal. Biasa saja. Nyaris seperti rotasi. Kini bahkan banyak orang meninggalkan semua agama dan mengklaim sebagai agnostik atau deis karena lelah dengan ketegangan dan kebencian berkedok agama. Harus diakui, sebagian sikap agamawan berkontribusi dalam bertambahnya jumlah orang yang eksodus dari agama.
Memilih keyakinan adalah hak asasi setiap orang, tapi menyudutkan keyakinan yang ditingggalkannya dengan manipulasi dan provokasi hanya menamban tensi ketegangan sektarian.
Bila ada mantan Kristen, tidak berarti tidak ada mantan Muslim. Demi detensi dan menjaga keutuhan bangsa, perpindahan keyakinan tidak perlu diekspos sebagai keunggulan.