Salah satu ciri khas Nabi SAW adalah memperlakukan para pengikut dan umat di zamannya sebagai sahabat.
Kata ‘sahabat’ dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab. Menurut kitab kamus Lisan al-Arab, kata as-Shâhib dan bentuk jama’ nya (plural), shahhab, ashab, shihhab dan shahabah. Dalam al-Mufradât, disebutkan bahwa kata ash-shâhib adalah yang menemani (al-mu’asyir) dan yang selalu menyertai kemanapun (al-mulâzim).
Gelar sahabat disematkan oleh Nabi teragung pada siapapun yang secara lahiriah menerima ajakan dan ajarannya tanpa pengecualian dan melampaui batas teritori, etnis dan status.
Sebutan ini secara niscaya mensejajarkan setiap individu dalam masyarakat yang dalam tradisi jahiliah tersusun dalam hierarki tribal dan kasta juga status dan harta.
Panggilan sahabat juga mengakrabkan setiap unit komunal dalam masyarakat yang semula terkotak-kotak dalam aneka klan dan suku yang selalu berseteru, berebut dominasi dan saling curiga.
Karena naik pangkat sebagai sahabat, mereka tak merasa canggung untuk mendekat dan bergaul secara natural dengan beliau.
Karena menyebut setiap orang yang mengikutinya sebagai kawan, dia pun dipandang sebagai sahabat dan insan yang sejajar dengan insan lainnya secara sosial, bukan manusia dewa, orang sakti atau pangeran bertahta.
Beliau menghancurkan sistem hierarki tak manusiawi itu secara revolusiner dalam pandangan, sikap dan perilaku.
Dalam sejarah Islam, kata sahabat mendapatkan perlakukan khusus dan sempat menjadi salah satu isu yang sensitif dan menimbulkan polemik sektarian berkepanjangan. Oleh sebagian ulama, kata shâhib dianggap sebagai kata yang dipastikan mengandung konotasi positif. Sebagian ulama menolak anggapan itu seraya menganggap kata shahib atau shahabah sebagai kata dengan pengertian netral, tidak mesti positif maupun negatif dan mengafirmasi adanya sahabat buruk dan sangat buruk, juga sahabat baik dan sangat baik.
Di antara para sahabat itu, ada seorang yang menyertainya sejak balita, bermain, merangkak, tumbuh dan matang dengan usapan, suapan dan asupannya, hidup seatap, sebilik dan serumah dengannya bagai bayangnya, berinteraksi dengannya dalam durasi yang lebih lama dan lebih panjang, membarenginya dalam kelas bimbingan khusus, menyaksikan dari dekat cahaya ayat demi ayat yang diterimanya, mendampinginya dalam momen-momen pentingnya.
Dia kader utamanya, murid istimewanya, pintu tunggal ilmunya, dutanya, jubirnya, asistennya, pengawalnya, perisai hidupnya, sektetarisnya, panglimanya, anak angkatnya, kekasih putri kesayangannya, anak paman terdekatnya, putera ayah angkatnya, menantunya, sepupunya, duplikatnya dan kembaran jiwanya yang kala sakit merawatnya dan ketika wafat memandikannya mengafaninya serta mengembumikannya. Dia tak pernah masuk Islam karena terlahir sebagai Muslim. Dialah sahabat plus.
Orang yang menyebut namanya, mengutip untaian hikmahnya, lebih-lebih mengutamakannya atas sahabat lainnya, apalagi mengimaninya sebagai penerus gurunya sangat mungkin mengalami kesulitan dalam hidup.