Skip to main content
Munajat di Penghujung Ramadhan

Entah apakah perasaanku bahwa banyak orang lebih beruntung dariku tergolong kufur ataukah tidak. Perasaan ini ada sejak dulu sebelum aku menempati posisi sosial seperti saat ini.

Tuhanku,
Bila saja memperlihatkan derita kepada orang lain diperbolehkan, niscaya aku ganti munajat rintih ini dengan permohonan bantuan dan pertolongan.

Tali gelayutanku,
Andaikan saja mengundang iba orang lain diizinkan, maka aku isi mulutku dengan tuturan keluh kesah. Kalau saja meminta dukungan kepada orang lain tidak dianggap sebagai sikap yang tak terpuji, tentu aksara-aksara pilu ini tak kan pernah terangkai. Jika saja mengharap simpati orang lain terhadap persoalan-persoalanku diwajarkan, aku tentu akan sibuk merengek dan meminta kepadanya.

Tiangku sandaranku,
Entah apakah perasaanku bahwa banyak orang lebih beruntung dariku tergolong kufur ataukah tidak. Perasaan ini ada sejak dulu sebelum aku menempati posisi sosial seperti saat ini.

Pemilik napasku,
Aku berpura-pura ceria dan berusaha perlihatkan bahagia karena orang-orang sekitarku sangat membutuhkan hal itu. Terlalu banyak orang yang yakin atau menduga bahwa aku cukup handal untuk menjadi tempat mengeluh dan meminta nasihat.

Pemegang ubunku,
Aku tidak benar-benar berada di tengah mereka. Dalam hiruk pikuk itu, aku kesepian. Dalam jumlah yang banyak itu, aku sendirian. Dalam kebenderangan itu, aku muram. Dalam tawa itu, aku merintih. Dalam rintih itu, aku menangis. Dalam tangis itu, aku berdoa. Dalam doa itu, aku bisu. Dalam bisu itu, aku pasrah…

Tumpuanku,
Aku masih menunggu isyaratMu…