MUNIR DARI TANAH ABANG
Puluhan artikel memoar telah ditulis oleh beberapa aktivis dan teman dekat tentang sosok, kiprah dan cita-cita Ahmad Taufik alias ATe.
Semuanya mengungkapkan apresiasi dan rasa kehilangan yang mendalam atas kepergian abadinya. Hampir semua sisi personal dan impersonalnya yang luar biasa terungkap dengan sempurna sedemikian rupa sehingga saat ini ATe terasa lebih hidup ketimbang saat bersama kita. Inilah yang membuat saya terhenyak dan merasa kehabisan bahan untuk memuliakan diri saya dengan berpartisipasi menulis beberapa alinea tentang pribadi bersahaja ini.
Beberapa waktu lalu seorang teman berbincang mengenang ATe sertaya mengingatkan saya tentang episode-episode monumental interaksi saya dengan beliau.
Di kantor YLBHU terutama saat rapat mingguan, mungkin saya adalah orang yang paling sering jadi sasaran keusilan ATe, kalau bukan satu-satunya.
Salah satu cirikhas pria kelahiran Kebon Pala Tanah Abang ini adalah kegokilannya dan satirnya. ATe bukan seorang santri atau pribadi yang memposisikan diri sebagai seorang relijius, malah berusaha mengesankan diri sebagai orang yang berpandangan inklusif, bahkan sangat bebas. Saya di lingkungan LSM yang dipimpinnya mungkin dianggap “paling ngustadz” dan mewakili ortodoksi dalam skala yang kecil.
ATe punya cara khas mengklarifikasi beberapa pandangannya tentang beragam isu dari perspektif agama. Tak jarang ia “memprovokasi” saya dengan melontarkan joke-joke berani seraya melirik saya.
Teman-teman seolah mafhum dengan modus ini, karena menurut mereka, dia hanya melontarkan candaan itu bila saya hadir di kantor. Saya pun rajin merespon dengan candaan yang kadang menegasi candaanya. Beberapa lontarannya terkesan “offside”, meski saya yakin itu hanyalah cara dia mengklarifikasi dan bertanya. Selalu saja dialog ini beriring tawa dan komentar lucu dari teman-teman.
Celoteh-celoteh ATe mewakili keresahan intelektual banyak aktivis yang umumnya lebih akrab dengan wacana pemikiran Barat terutama tentang kebebasan, demokrasi, HAM dan keadilan sosial.
Para aktivis kerap mempertayakan kontektualitas agama dan perannya dalam penyelesaian problema kemanusiaan. Tidak sedikit aktivis yang menjaga jarak dengan agama, bahkan memilih jadi agnostik karena memandang agama sebagai alat kekuasaan dan sarana kekerasan.
ATe keluar dari mainstream aktivis pro demokrasi yang berpandangan Kiri. Dia memperluas area ekplorasi intelektual dan mencari pandangan alternatif agama yang bisa menghadirkan wacana rasional dan relevan dengan dinamika zaman.
ATe yang lahir dalam keluarga keturunan alawi mestinya secara genetik menjadi orang yang relijius fanatik. Tapi dia malah menjadi aktivis gigih melakukan advokasi dan pembelaan rakyat kecil dengan menerjang segala risiko. Meski demikian, dia berhasil memadukan Islam rasional dengan aktivitisme. Karena itu ia aktif sebagai anggota HMI juga sebagai aktivis Prodem.
ATe bukan tipe aktivis klimis di ruang diskusi. Ia adalah gladiator di arena jihad horisontal dengan lisan dan tulisan melawan bromocorah-bromocorah dalam semua level. Ia nekat karena tak membedakan siapa yang dilawan. Itulah yang mengantarkannya ke penjara.
Saat tragedi Sampang meletus, ATe mengambil sebuah keputusan besar. Sembari mengurangi aktivitasnya di dunia jurnalisme dan di puluhan LSM, ia bersama beberapa teman mendirikan Lembaga Bantuan Hukum Universalia yang dijadikan sebagai wadahnya mewakafkan umurnya untuk mengadvokasi kaum minoritas.
Disinilah saya makin mengenal ATe, Munir dari Tanah Abang.
Baca juga:
Tragedi Sampang: Kuasa Pembodohan
LSM Minta Komnas HAM dan Polri Lindungi Kaum Minoritas Syiah