Skip to main content

Menyatakan diri sebagai penganut sebuah mazhab A berarti menyatakan kesediaan untuk menerima dan mematuhi hukum-hukum yang ditetapkan di dalamnya. Ia menjadi mukallaf yang bertanggungjawab atas hukum setiap perbuatannya, ritual/vertikal (ibadah) dan non ritual/horisontal (mua’malah).

Dalam mazhab Ahlulbait, mekanisme melaksanakan taklif bagi mukallaf awam seperti kita, adalah merujuk atau bertaqlid kepada faqih yang credible dan memenuhi syarat-syarat berijtihad, sebagaimana disebutkan dalam literatur-literatur utama fikih. Karena itu, seorang Syi’i sejati pasti menjadikan fatwa atau hasil ijtihad seorang faqih (mujtahid) sebagai pedoman ibadah dan muamalah. Salah satunya adalah mut’ah.

Mut’ah menurut mazhab Ahlulbait adalah perbuatan mubah. Tapi pelaksanaannya bergantung kepada sejumlah syarat dan pertimbangan kondisional. Bila pelaksanaanya tidak mempertimbangkan hal itu, sangat mungkin perbuatannya yang mubah menimbulkan efek haram. Ini berlaku juga dalam perbuatan mubah lainnya.

Satu hal yang perlu dipahami ialah bahw mut’ah dengan perawan hanya bisa dilaksanakan dengan izin wali. Ini menurut fatwa mayoritas marja’ taqlid terutama Imam Khamenei.

Melakukan mut’ah tanpa mengetahui detail hukumnya melalui penjelasan orang yang kompeten dalam fikih Ahlulbait, bukan asal orang yang mengaku Syiah, bisa menimbulkan efek negatif terhadap kemaslahatan komunal.

Banyak info beredar tentang kekecewaan dan penyesalan bahkan rasa terperdaya pelaku mut’ah (pihak perempuan-yang mestinya memegang hak ijab). Sumbernya adalah ketergesaan tanpa pengetahuan detail tentang hukum juga pelaksanannya dan minimnya kesadaran bertaqlid sebagai syarat utama menjadi individu Syiah berstandar.

Perlaksanaan perbuatan halal/mubah tanpa memperhatikan aspek dan konteks situasi, kondisi, tempat, waktu dan faktor-faktor lain bisa bertentangan dengan hukum wajib menjaga kemaslahatan bersama yang berlaku mutlak atas setiap mukallaf. Karena itu, halal saja tidak cukup.