NARASI WAFAT NABI TERAGUNG

NARASI WAFAT NABI TERAGUNG
Photo by Unsplash.com

Jelang hari-hari wafatnya, karena khawatir orang-orang munafik akan memanfaatkan peristiwa ini dan memanipulasi masyarakat, Nabi SAW mengumpulkan seluruh anggota masyarakat berceramah memperingatkan mereka tentang hasutan menentangnya, menganjurkan berpegang teguh dengan Itrah dan mematuhi, dengan suara bulat dan tidak membangkang dan melakukan penelikungan.

Dalam perjalanan pulang dari haji terakhir, dikenal dengan Haji Wada’ (Haji perpisahan), Nabi memberikan sinyal-sinyal perpisahan melalui khotbah dan serangkai pernyataan yang amat memilukan. Para sejarawan tidak hanya menyebut nama tempat upacara perpisahan yang terletak antara Mekah dan Madinah itu, namun merincikan jumlah peserta yang hadir saat itu.

Sesampainya di Madinah, Nabi yang mulai terlihat kurang sehat, masih harus memikirkan umat dan negara yang dibangunnya. Sepak terjang dan provokasi negeri jiran di sebelah selatan yang dipimpin oleh Heraclitus membuatnya harus mengabaikan rasa sakit dan penat. Lelaki yang bernama Ahmad di langit ini memberikan sebuah instruksi kepada setiap semua lelaki yang sehat jasmani agar bersiaga perang di bawah komando Usamah bin Zaid.

Dengan langkah lemah ia keluar dari rumah sembari mengenakan selimut dan berseru agar setiap orang keluar dari Madinah karena kerajaan Romawi telah mengerahkan brigade pasukan kaveleri untuk melakukan pembersihan terhadap warga yang memeluk Islam dalam wilayah kekuasaannya, termasuk gubernur Syam, Farwah bin Amr al-Jazami.

Suara parau Nabi teragung itu bak gayung tak bersambut. Pasukan yang sudah bergerak meninggalkan Madinah tiba-tiba bubar. Isu tentang ‘kematian Nabi’ telah menjadi alasan aksi ‘mogok’ itu. Sampai-sampai, sang Komandan, Usamah bin Zaid, yang masih muda, juga ikut pulang ke Madinah.

Saat terbujur di atas ranjang, beliau meminta secarik kertas dan setangkai pena sebagai konfirmasi akhir atas pesan-pesan yang berulang telah disampaikannya terutama di Hajatul-wada’. Namun, apa hendak dikata, bising dan desak-desakan pengunjung yang membesuk di rumah kecil itu membuat suaranya seakan tertelan dan napasnya tersengal.

Sebuah mimpi telah mengejutkannya. Ia melihat Quran yang ada di kedua tangannya terbang membumbung tinggi ke langit. Fatimah melihat dirinya terbang di belakangnya. Dan al-Quran itu pun menyeru:

“Terbang mendekatlah padaku. Terbanglah ke langit. Dan Fathimah pun melihat ke belakangnya maka dia melihat bumi bercahaya terang benderang disambar petir dan kilat (halilintar).”

Ia pun mendatangi Nabi di biliknya dengan wajah tegang:. “Ayah, aku telah melihat Quran terlepas dari tanganku.”Ia menjawab dengan suara lemah seakan berbisik “Fathimah, setiap kali aku menyeru, niscaya dijawablah seruanku itu. Dan sungguh Jibril as telah membacakan al-Quran kepadaku dua kali dalam tahun ini.”

Meledaklah tangis Fatimah. Duka kepergian ayahnya telah meremas sukmanya dan menggoyahkan tubuhnya hingga roboh di pelukannya. Ia berusaha tersenyum menghibur Fathimah:. Jangalah bersedih. Bahagialah. Engkaulah Ahlul Bait pertamaku yang akan segera menyusulku..

Seketika paras Fatimah merona. Fathimah mengusap air matanya dan memeluk tubuh ayahnya.

Daur waktu bergulir cepat seiring serangan racun yang merasuk keras ke setiap sel tubuhnya. Muhammad rebah, menyimak kidung malaikat Rahmat menghibur di biliknya yang muram. Lalu suara paraunya meluncur memanggil Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.

”Selamat datang untuk kalian semua, mudah-mudahan kalian dibelas kasihi oleh Allah Ta’ala. Saya berwasiat supaya kalian bertakwa kepada Allah, dengan sebenar-benarnya taat kepada-Nya, karena sungguh sudah dekat perpisahan di antara kita, telah dekat pula waktunya kembali kepada Allah Taala yang menempati surga-Nya.

Bila tiba ajalku, kuminta ‘Ali yang memandikanku, Fudlail bin Abbas yang menuangkan air, dan Usamah bin Zaid membantu mereka berdua. Kemudian kafanilah aku dengan pakaianku saja manakala kamu semua menghendaki, atau dengan kain Yaman yang putih.”

Ketika sedang memandikan aku, letakkanlah aku di atas tempat tidurku di rumahku ini, yang dekat dengan liang kuburku nanti. Setelah itu kalian keluar sejenak meninggalkan aku. Pertama kali yang mensalati aku adalah Allah SWT, lalu malaikat Jibril, malaikat Israfil, malaikat Mikail, malaikat Izrail beserta pembantu-pembantunya, kemudian dilanjutkan oleh para malaikat semua. Sehabis itu kalian masuklah dengan berkelompok-kelompok, dan lakukanlah salat untukku.”

Dan “Cahaya Kedua” itu pun mengangkasa diiringi armada malaikat utama menemui Kekasihnya di altarnya yang suci. Ruh Muhammad melesat melintasi langit-langit meninggalkan jasadnya di antara pangkuan kedua tangan Ali dan Fathimah serta Hasan dan Husain. Ali berdiri di hadapan Rasulullah SAW berucap: “Salam sejahtera atasmu, wahai Nabi, kami bersaksi bahwa apa yang diturunkan kepadanya dan menasehati umatnya dan berjuang di jalan Tuhan sampai Tuhan memuliakan agamanya dan menyelesaikannya Tuhanku, jadikanlah kami salah satu dari mereka yang mengikuti apa yang telah diwahyukan Tuhan kepadanya.” Khalayak mengikuti doanya dari belakang.

Angin berdesir meniupkan kidung kesedihan memasuki kisi-kisi jiwa Ali dan pendukungnya beriring hiruk pikuk pesta “dagang sapi” sidang darurat di ujung Madinah, pendapa Saqifah.

“Dan Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang (murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”[QS. Ali Imran (3) : 144]

Duka Sayyidah Fatimah AS kian bertambah seiring dengan wafatnya Rasulullah SAW selama 7 hari. Pada hari ke 8 ia memperlihatkan duka citanya dan masyarakat pun ikut menangis para wanita mengelilinginya saat mengeluh dan memekik ‘Oh…Ayahku!! Wa Muhammadda!! Air matanya terus mengalir saat langkah gontainya diayunkan hingga mendekati pusara ayahnya. Di situlah ia roboh. Azzahra memeluk makam Rasul SAW dan memekik suara parau “Oh…ayahku Kau tinggalkan puterimu sebatang kara. Punggungku seolah patah dan hidupku berakhir.

Tak lama kemudian ia kembali bergegas ke rumahnya seraya menangis. Sesampainya dirumahnya dia memeluk dua putranya membayangkan derita yang akan dihadapi dua putranya sepeninggal ayahnya.

Read more