Nasib "Epistemologi"-ku

Nasib "Epistemologi"-ku
Photo by Unsplash.com

Sekitar tujuh tahun lalu saya diminta oleh seseorang menyusun sebuah buku modul yang merangkum tema-tema mayor infrasturktur pandangan dunia. Alhamdulillah, setelah melewati kira-kira empat bulan, buku yang cukup tebal itu sudah selesai ditulis. Pada bab pertama ada pembahasan seputar pengetahuan, mulai dari definisi dan macam-macamnya hingga polemik seputarnya, yang disebut dengan epistemologi.

Rupanya, saat dipresentasikan, teman kami, yang memang tidak akrab dengan filsafat, sangat tertarik. Selanjutnya dia mengcopy dan terus membahasnya.

Waktu berjalan, dan saya pun berpisah dengannya karena masing-masing sibuk dengan urusannya. Ternyata, epistemologi yang saya susun itu telah dimodofikasi dan disebarkan bahkan “diakuisisi” secara “diam-diam” lalu dijadikan sebagai “modal” training dan kajian-kajian di sejumlah orang yang konon telah dididik oleh teman saya itu sebagai trainer. Konon “demam epistemologi” mulai mewabah dan menjangkiti banyak kalangan yang terkesima dengan sistematika pembahasannya.

Melihat fenomena diatas, saya senang sekaligus sedih. Saya senang karena hasil kerja keras saya membuahkan manfaat bagi pencerahan sekaligus “rezeki” buat sekelompok orang yang menjadi pengajarnya. Saya sedih, karena saya merasa tidak diberitahu tentang nasib epistemologi yang saya tulis dengan susah payah itu.

Saya khawatir ada penambahan dan perluasan terhadap konten tulisa tersebut yang sangat mungkin mendistorsi atau bahkan mengeluarkannya dari anatomi epistemologi. Kekhawatiran ini cukup beralasan karena saya mulai mendengar hal-hal yang menggelikan seperti, dimasukkannya pembahasan non epistemologi dalam arena epistemologi. Memang tidak diharamkan oleh agama, tapi saya khawatir itu dianggap sebagai bid’ah intetelktual yang dinisbatkan kepada saya, apalagi tidak dapat manfaat profitnya… he he….

Read more