Skip to main content

Sebagian orang yang berusaha untuk berpikir rasional seolah “ditakdirkan” sebagai orang yang mudah disalahpahami karena ketagasan sikap sebagai konsekuensi pola pikir rasionalnya, sehingga bahasa tubuh, diksi atau pola komunikasinya justru dianggap sebagai penguat presumsi awal yang telah tercangkok oleh orang lain yang setipe.

Nasib orang semacam ini di tengah masyarakat yang males berpikir dan lebih suka memanjakan diri dengan doktrin matang berbungkus opini, kurang baik.

Salah satu penyebabnya ialah bahwa dia cenderung mendefinisikan setiap masalah dan tema secara ketat, padahal publik sudah memahaminya dengan makna lain tanpa dasar pikir yang terstruktur dan sistematis. Pendapatnya yang logis dan suaranya yang tegas lenyap ditelan hiruk pikuk dan sorak sorai euforia keberpihakan.

Penyebab lain ialah keengganannya untuk berpikir “siapa” sehingga kehilangan kelompok dan patron yang mengikatnya secara primordial. Dia hanya memihak argumen tanpa memutlakkannya pada satu kelompok atau siapa. Dia teralienasi di tengah polarisasi dengan sentimen solidaritas ke-korsa-annya masing-masing.

Bukan hanya itu, perlahan-lahan keadaan berbalik. Dia yang berpikir logis justru terkesan nyeleneh, ngawur, tak ramah juga kadang dilantik sebagai sesat dan kafir.